Islam tidak hanya mengajarkan cinta, tetapi juga membimbing umatnya untuk membenci segala bentuk kemungkaran. Rasulullah ﷺ bersabda yang artinya; “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Para ulama telah sepakat bahwa membenci kemungkaran adalah kewajiban. Imam An-Nawawi dalam “Syarah Shahih Muslim” menyatakan:
أجمع العلماء على أن ووجبت كراهته بقلبه
“Para ulama sepakat bahwa wajibnya membenci kemungkaran dengan hati.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, XII/230)
Imam Asy-Syafi’i pun pernah berkata dengan ungkapan yang sangat masyhur:
“Aku mencintai orang-orang shalih, meskipun aku bukan termasuk di antara mereka. Semoga bersama mereka aku bisa mendapatkan syafa’at kelak. Aku membenci para pelaku maksiat, meskipun aku tak berbeda dengan mereka.”
Pertanyaannya, apakah berbagai “Gerakan Islam Cinta” itu benar-benar berlandaskan Islam, atau justru merestui sekulerisme dengan dalih cinta?
Apakah “Kurikulum Cinta” yang akan diterapkan merupakan bentuk cinta yang sejati, atau justru cinta semu yang memposisikan ketundukan pada ideologi sekuler?
Kita tunggu rumusannya, meski jika berfikir lebih mendalam dan berkaca pada realita selama ini, maka dapat sedikit terbaca arahnya kemana.
Jika yang terjadi adalah penyusupan nilai-nilai sekulerisme dan derivasinya dalam kedok cinta kepada peserta didik, maka kewajiban kita tentu adalah saling menasihati.
Ini adalah wujud cinta dan kepedulian yang sebenarnya kepada peserta didik, kepada pemangku kebijakan, dan kepada negara ini.
Allah Swt berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah: Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31). Wallahu A’lam. (net)