Pakar Hukum: Hakim Harus Perhatikan UU AP dalam Kasus Arion Indonesia

Sidang gugatan PT Arion Indonesia dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada Kamis (30/5/2024).-Foto: net-

RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Sidang gugatan PT Arion Indonesia melawan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali dilaksanakan di Pengadilan Pajak, Jakarta Pusat, Kamis (30/5/2024).

Pakar Hukum meminta Hakim tidak mengesampingkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UU AP) meskipun bukan termasuk dalam Hukum Perpajakan.

Sejak persidangan pertama, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang diwakili oleh Tim Sidang Kantor Wilayah DJP Jawa Timur III selalu berdalih bahwa tidak ada akibat hukum perpajakan apabila SPHP disampaikan lewat waktu.

Mereka menilai hal ini sebagai kesalahan yang umum terjadi dalam praktik lapangan.

Baca Juga: Bea Cukai Banyuwangi Gagalkan Pengiriman Arak Bali & Rokok Ilegal, Tuh Lihat Barbuknya!

Alessandro Rey, Pakar Hukum yang juga Saksi Ahli dalam Sidang PT Arion Indonesia melawan DJP menegaskan bahwa hal itu tidak mengaburkan kewajiban bahwa hakim harus tetap harus mempertimbangkan UU AP.

“Tergugat sendiri sudah mengakui bahwa DJP tunduk bukan saja kepada hukum perpajakan, tetapi juga hukum Administrasi Pemerintahan, jadi tidak ada alasan hakim mengesampingkan UU AP,” tegas Rey.

UU AP tidak dapat dikesampingkan dengan alasan bahwa Hakim harus tunduk pada Pasal 78 UU PP (Pengadilan Pajak).

Di mana, dalam Pasal tersebut berbunyi, “Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim”.

Pasalnya hakim juga harus tunduk pada Pasal 23A Konstitusi (UUD 1945) yang dengan tegas mengamanatkan bahwa pajak dan pungutan lain bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Namun, tidak disebutkan bahwa undang-undang itu hanya sebatas UU perpajakan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa hakim di Pengadilan Pajak juga harus tunduk kepada undang-undang apapun yang berkaitan dengan perpajakan.

Selain itu juga, Hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan tidak ada dasar hukumnya.

Sebagaimana amanat dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Mengingat dalam perkara ini sudah terbukti dan dapat dibuktikan bahwa fakta keterlambatan penyampaian SPHP telah melanggar UU KUP Jo. PMK 17 Tahun 2013 mengenai kewajiban penyampaian SPHP paling lambat adalah 6 bulan.

“Bukan Cuma itu, Hakim tidak dapat membatasi upaya hukum maupun upaya administrasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam mencari keadilan,” ujar Rey. (jp)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan