Menyikapi Polemik Hukum Musik

Polemik dan beda pendapat.-Foto: net-

RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Perbedaan yang sifatnya khilafiyah selayaknya tidak disikapi secara berlebihan, apalagi sampai mencaci maki dan tuduhan ahli bid’ah, musyrik atau gelar buruk lain yang tidak layak.

JAGAD dunia sosial media saat ini sedang panas-panasnya membahas masalah musik. Ini dipicu oleh statatemen Ustad Adi Hidayat (UAH) dari PP Muhammadiyah yang menyebut Surat As-Syu’ara sebagai surah pemusik.

Terlepas dari masalah tersebut, perlu ada yang harus diluruskan supaya ada titik temu.  Sebelum membahas secara detail masalah di atas,  ada baiknya terlebih dulu mengetahui pendapat para ulama tentang hukum musik.

Sebagian ulama seperti Al-Qurtubi, Abu Al-Tayyib Al-Tabari, Ibnu Al-Salah, Ibnu Al-Qayyim, Ibnu Rajab Al-Hanbali, Ibnu Hajar Al-Haytami, dan Ibnu Taymiyyah menghukumi haram.  

Pendapat para ulama ini kemudian ada yang menganggap ijma’. Karena itu Imam al-Syaukani dalam karyanya Ibtol Da’wa al-Ijma’ fi Tahrim Muthlaq al-Sama’ menepis dakwaan tersebut.

Baca Juga: KPK Ingatkan Pihak Maktour Travel agar Kooperatif pada Panggilan Hukum

Meskipun banyak hadis yang secara dzahir melarang musik dan nyanyian, namun ia sering disebut bersama dengan arak. Ini menunjukkan bahwa pengharaman musik oleh sebagian ulama, bukan karena zat musik dan nyanyian itu sendiri, tetapi karena ada sebab lain yang menjadikannya haram.

Sedang ulama lain seperti Ibnu Hazm, Ibnu al-Qaysrani, Abu Hamid al-Ghazali, al-Izz ibn Abdussalam, Abd al-Ghani al-Nabulsi, dan Ibnu Daqiq al-Aid menghukumi musik dengan  mubah asal isinya tidak mengandung keharaman.

Dari sini kita tahu ada dua pendapat dari kalangan ulama mengenai hukum musik sehingga tidak bisa dihukumi boleh secara mutlak, atau diharamkan secara mutlak.

Sebab yang mengharamkan mempunyai alasan dan hujah secara terperinci. Demikian juga yang membolehkan juga memiliki  hujjah yang kuat.   

Berkaitan dengan posisi musik, menurut Ibn ‘Abd Rabbihi al-Andalusi hukumnya sama seperti syair; jika baik kandungannya maka baiklah ia, dan jika buruk kandungannya maka buruklah ia. (dalam al-‘Aqd al-Farid, 7/10).

Sikap Kita terhadap Khilaf

Memilih salah satu pendapat dari dua pendapat yang berbeda di antara ulama merupakan sesuatu yang lumrah.  Khilaf (perbedaan pendapat) yang terjadi di kalangan ulama adalah hak preogratif mereka yang didasari oleh otorisasi ilmu.

Karenanya tidak ada hak dan wewenang bagi orang awam dan bukan ahli hukum  ikut-ikutan meributkan khilaf di antara mereka.

Hal ini bukan berarti kita tidak boleh melakukan upaya ijtihad seperti mereka, tetapi karena persoalan kapasitas keilmuwan kita yang masih jauh. Sehingga sangat kurang pantas ketika para ulama ahli di tingkat elit masih berbeda pendapat, ternyata kita yang ada di level grassroot juga ikut-ikutan saling meributkannya.

Persoalan khilaf sudah terjadi sejak jaman dulu yang menimpah mahluk Allah. Misalnya khilaf yang terjadi pada malaikat dua malaikat.

Hal ini bisa dilihat dari kisah seorang pembunuh  100 orang yang meninggal di tengah jalan menuju jalan taubat. Dua malaikat saling berbeda pendapat.

Malaikat rahman ingin memasukkannya ke surga. Sedang malaikat adzab yang ingin memasukkannya ke neraka.

Demikian juga khilaf terjadi pada para nabi. Contohnya, Nabi Musa dan Nabi Khidhir ‘alaihimassalam pernah berbeda pendapat dalam melakukan perjalanan.  Nabi Musa dengan Nabi Harun bahkan sempat bentrok dan tarik-tarikan rambut, untuk urusan yang mereka perselisihkan.

Demikian juga keputusan hukum Nabi Daud pernah ‘diralat’ oleh anaknya sendiri, Nabi Sulaiman dalam sebuah perkara rakyat negeri mereka.

Sedang di jaman Nabi Muhammad ﷺ juga pernah terjadi khilaf di ntara para sahabat dalam peristiwa perang Bani Quraidhah dalam menafsirkan perintah Rasululla ﷺ.

Selain itu juga ada kisah tentang perbedaan penafsiran para petani kurma di Madinah tentang ‘larangan’ Rasulullah ﷺ untuk melakukan penyebukan.

Juga ada kisah tentang para shahabat yang berbeda pendapat dalam menetapkan arah kiblat, sehingga ada yang shalat menghadap ke Barat, Timur, Utara dan Selatan.

Namun perbedaan itu tidak membuat mereka berperpecah, tetapi tetap bershahabat dan saling mengasihi antara sesamanya.

Karena itu perbedaan yang sifatnya khilafiyah tidak selayaknya disikapi secara berlebihan. Sebab hal tersebut bisa menimbulkan perpecahan.

Di antara yang bisa menimbulkan perpecahan yaitu mencaci maki orang yang berbeda pendapat dengan dirinya. Baik dengan tuduhan ahli bid’ah, pelaku kemusyrikan atau gelar-gelar lain yang tidak layak.

Kemudian tidak mau bertegus sapa alias memutuskan tali silaturrahim dengan orang yang dianggap pendapatnya tidak sama.

Bahkan lebih para lagi jika perbedaan tersebut disikapi dengan cara menfitnah serta menghujat saudaranya di muka umum, padahal akar masalahnya hanya beda pendapat dalam masalah khilafiyah.

Semoga kaum Muslimin lebih mengutamakan ukhuwah dan menjauhi perpecahan dengan banyak belajar pada orang-orang terdahulu. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan