Menghidupkan Kembali Dwifungsi TNI Lewat RPP Manajemen ASN, Setara Intitute: Mengkhianati Amanat Reformasi
Direktur Riset SETARA Instiute, Halili Hasan.-Foto: Dokumentasi pribadi-
RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Upaya membangun reformasi TNI kerap kali mengalami gangguan melalui perluasan penempatan TNI pada jabatan sipil di luar ketentuan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan mengatakan penempatan tersebut memicu pelembagaan rutinitas penempatan prajurit-prajurit, terutama perwira pada jabatan-jabatan yang tidak berkaitan dengan pertahanan negara.
Padahal urusan-urusan pada jabatan tersebut dapat dikelola oleh aparatur sipil yang memiliki kapasitas sesuai bidangnya.
“Dalam konteks itu, terlihat bahwa pemerintah tidak punya komitmen politik untuk menguatkan reformasi TNI, juga Polri sesuai dengan amanat Reformasi 1998,” ujar Halili Hasan dalam keterangan tertulis pada Sabtu (16/3).
Baca Juga: Pengusaha Minta MK Hapus Pajak Hiburan 75% untuk Diskotek hingga Spa
Menurut Halili, konsekuensi yang ditimbulkan atas penempatan TNI/Polri pada jabatan sipil tersebut adalah menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI dengan dalih kompetensi, yang justru dilakukan oleh pejabat sipil yaitu Joko Widodo.
Melalui penempatan tersebut, TNI/Polri tidak lagi hanya mengerjakan tugas utamanya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, tetapi kerja-kerja administratif dan sosial-politik lainnya.
“Hal itu nyata-nyata mengkhianati amanat Reformasi 1998 yang menghapus Dwi Fungsi ABRI (kini TNI/Polri) dan mengamanatkan profesionalisme TNI di bidang pertahanan/keamanan,” ujar Halili.
Dalam konteks itu, menurut Halili, penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) harus dipersoalkan.
Begitupun merujuk pada UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri Pasal 28 ayat (3), sebagaimana penjelasannya bahwa jabatan-jabatan tersebut perlu dipastikan memiliki sangkut paut dengan kepolisian dan ada penugasan resmi dari Kapolri.
Sementara terhadap jabatan-jabatan ASN di luar ketentuan UU TNI dan UU Polri itu, PP ASN ini perlu menegaskan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan, sebagaimana Pasal 47 Ayat (1) UU TNI, serta merujuk kepada Pasal 28 Ayat (3) UU Polri yang menegaskan bahwa Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Ketiga, UU ASN mengatur bahwa jabatan ASN terdiri dari Jabatan Manajerial dan Non-Manajerial. Pengaturan PP ini semestinya memberikan gambaran yang jelas perihal kriteria dan/atau jabatan-jabatan apa saja yang dapat diduduki prajurit TNI/Polri untuk jabatan ASN.
Menurut Halili, kriteria dan syarat yang ketat perlu dilakukan agar RPP ini tidak menjadi pintu masuk yang seluas-luasnya bagi penempatan TNI/Polri pada jabatan sipil yang dapat memicu massifnya kembali praktik Dwifungsi ABRI dan merusak tatanan demokratis negara ini.
Keempat, mengingat dalam UU ASN memiliki konsep resiprokal, dimana ASN juga dapat mengisi jabatan-jabatan tertentu di lingkungan TNI/Polri, maka perlu diperhatikan agar pengaturan dalam rancangan PP ini tidak menambah persoalan mengenai karier-karier ASN dan prajurit TNI/Polri ke depannya.