Natal Dairi

Catatan Dahlan Iskan-foto :disway.id-

Oleh: Dahlan Iskan

Natal hari ini saya di tanah Batak: Dairi. Di ibu kotanya: Sidikalang. Bersama si dia dengan lutut barunyi: ini hari ke 14 setelah menantu Pak Iskan itu operasi ganti lutut kiri.

Ini sebenarnya merupakan kunjungan balasan: bupati Dairi yang sekarang, Vickner Sinaga, sudah dua kali tidur di rumah saya yang di DIC Farm, Mojokerto. Ini benar-benar kunjungan balasan: waktu Vickner ke rumah saya kakinya sakit. Jalannya terpincang. Waktu menantu Pak Iskan ke Dairi, kakinyi sakit. Jalannyi terpincang.

Ketika mendarat di Medan, kemarin sore, saya belum tahu akan ke mana saja di Dairi. Pokoknya ke Dairi. Lihat bagaimana orang Kristen bernatal di daerah Kristen.

Sebenarnya saya ingin turun di bandara Silangit. Di Siborong-borong. Dekat danau Toba. Sudah lebih dekat ke Sidikalang. Tinggal dua jam perjalanan. Tapi semua penerbangan ke Silangit penuh. Terlalu banyak orang Batak yang mudik. Maka saya minta maaf ke istri: harus mendarat di Medan, lalu jalan darat dari Medan ke Dairi.

Tentu saya harus ikut memikirkan keselamatan lutut baru itu. Jangan transit di bandara Jakarta. Perpindahan gate di bandara Jakarta lebih ruwet. Juga lebih jauh. Saya pilih lewat Batam. Jarak antar gate di bandara Hang Nadim lebih dekat.

Bukan itu. Saya pilih lewat Batam untuk bayar utang ke menantu Pak Iskan itu: ’’suatu saat nanti saya akan mentraktir Anda makan di markabak HAR. Makan roti chanai di situ’’.

Terbayar sudah utang itu. Bahkan pakai bonus: makan siang di pinggir laut dengan menu kepiting lada hitam, cumi goreng tepung, udang rebus dan seporsi besar gonggong. Tidak ada yang enak. Semuanya  sangat enak.

Saya pernah ke Sidikalang: hanya lewat. Kali ini akan dua malam di situ. Semoga masih bisa melihat rumah kelahiran tokoh besar Indonesia masa lalu: Jenderal T.B. Simatupang.

Inilah tokoh kelahiran Sidikalang yang di umur 29 tahun sudah menjadi panglima perang Republik Indonesia --setingkat panglima TNI sekarang. Usia belum 30 tahun. Di umur segitu pangkatnya sudah jenderal mayor --kini disebut mayor jenderal, dengan dua bintang.

Tapi Bonar Simatupang menjadi panglima perang menggantikan tokoh yang Anda sudah amat kenal: Jenderal Sudirman, yang meninggal dunia di tahun itu: 1950.

Simatupang sendiri menjadi tentara karena ”dendam”. Yakni dendam pada gurunya di AMS, di Batavia: Meneer Haantjes.

Sang meneer mengatakan: Indonesia tidak mungkin merdeka. Itu karena orang Indonesia tidak mungkin bersatu. Perbedaan antar golongannya sangat tajam. Orang Indonesia juga tidak mungkin jadi tentara yang baik. Postur tubuh mereka terlalu kecil dan lemah.

Maka begitu tamat AMS, Simatupang masuk akademi militer Belanda di Bandung: KMA, Koninlijke Militaire Academie. Itu juga berbau  takdir. Sebelum itu tidak ada KMA di Bandung. Adanya di Breda, negeri Belanda. Tapi Nazi Jerman menyerang Belanda. Belanda kalah. KMA yang ada di Breda ditutup. Dipindah ke Bandung.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan