Pemerasan Berkedok LSM Marak, Penasihat Ahli Kapolri Minta Kapolda & Kapolres Bertindak

ilustrasi Kasus pemerasan berkedok lembaga swadaya masyarakat (LSM) kembali marak-foto :jpnn.com-

JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Kasus pemerasan berkedok lembaga swadaya masyarakat (LSM) kembali marak. Kasusnya pun terjadi di banyak daerah. Penasihat Ahli Bidang Hukum Kepolisian dan Kriminologi Kapolri, Edi Hasibuan, mendorong korban pemerasan, termasuk pemda dan sekolah berani melapor ke kepolisian.

Direktur eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) itu juga meminta para kapolda dan kapolres mengambil tindakan tegas guna memberantas praktik tersebut. 

Beberapa kasus pemerasan telah dipantau, salah satunya melibatkan anggota LSM Bidik bernama Muhlis yang memaksa kepala SDN Duko 1, Sumenep, Jawa Timur, menunjukkan laporan penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS).

"Tindakan LSM mengusut dugaan korupsi sah, tetapi harus profesional, bukan dengan ancaman. Jadi, tidak sah jika tujuannya malah untuk kepentingan pribadi atau kelompok," ujar Edi saat dihubungi, Rabu (23/7).

BACA JUGA:Kawal Masuknya 2 Pesawat Asing, Bea Cukai Tegaskan Pentingnya Koordinasi Lintas Intansi

Kasus serupa terjadi di Wajo, Bone, Luwu, Pangkep, Bulukumba, dan daerah lain, yang menunjukkan oknum LSM dan wartawan palsu memeras kepala sekolah, kepala desa, hingga pejabat. 

Edi mengaku telah membaca laporan media terbitan Makassar, Sulsel, perihal praktik lancung itu. Menurut dia, para oknum yang mengaku dari LSM datang dengan alasan wawancara atau mecari data.

"Ujung-ujungnya minta bayaran, padahal, jika niatnya murni, tidak perlu ada pemaksaan," tutur Edi.

Mantan wartawan itu menegaskan semestinya pejabat yang enggan memberikan data dilaporkan ke Komisi Informasi Publik (KIP), bukan malah dipaksa dengan intimidasi. "Kartu LSM dan pers sering disalahgunakan sebagai 'akses bebas', seperti yang dilakukan Muhlis dari LSM Bidik," katanya.

Menurut Edi, praktik itu terus terjadi karena banyak korban yang menuruti permintaan pemeras. Menurut dia, banyak pejabat akhirnya menyetor uang karena takut. "Akibatnya, pemerasan makin subur karena mereka (pelaku) mendapat keuntungan," ujarnya. Di Gorontalo, sebuah LSM bernama CMMI memanfaatkan informasi dari oknum aparat untuk memeras dinas provinsi. Oknum pemeras itu sempat berhasil meraih uang. 

 "Pertama berhasil karena korban takut, padahal tidak bersalah, tetapi upaya kedua gagal karena pejabat sudah tahu trik mereka," jelas Edi. Pemerasan juga terjadi di Jambi, Sumbar, Sulsel, dan Kalbar, dengan banyak kepala desa melapor ke polisi.

Edi mencontohkan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) di Kabupaten Wajo, Sulsel juga jadi sasaran ulah oknum LSM. "Apdesi Wajo melaporkan oknum LSM ke Polres Wajo setelah Kepala Desa Benteng Lompoe dipaksa," urainya.

Edi pun mengharapkan para pejabat berani melawan pemeras, tetapi tetap transparan dalam laporan keuangan. "Ketertutupan bisa memicu korupsi. Seperti kata Lord Acton, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup," tegasnya.

Selain itu, Edi juga menyarankan agar korban melapor oknum pemeras menggunakan Pasal 369 KUHP tentang pemerasan dengan ancaman pencemaran nama baik.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan