Demokrat Minta Fadli Zon Tidak Lupakan Kejahatan HAM Masa Lalu dalam Penulisan Ulang Sejarah

Anggota Komisi X DPR RI asal NTT Anita Jacoba Gah. -Foto tangkapan layar YouTube DPR RI-
JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Anggota Komisi X DPR RI Anita Jacoba Gah menilai pentingnya integritas dan keberagaman dalam proyek penulisan ulang sejarah nasional.
Dalam rapat bersama Menteri Kebudayaan Fadli Zon, Anita mengingatkan agar sejarah tidak direkonstruksi untuk kepentingan kekuasaan dan tidak menghapus kebenaran masa lalu.
"Penulisan ulang sejarah harus mengedepankan keadilan, kebenaran, dan rekonsiliasi. Bukan sekadar mengganti versi, tetapi membangun kesadaran kritis bangsa," tegas Anita dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi X DPR RI dan Kementerian Kebudayaan di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senin (26/5).
Mewakili pandangan Fraksi Demokrat, Anita menyoroti draf sejarah nasional yang dinilai terlalu berpusat pada narasi negara, bersifat maskulin, dan cenderung mengabaikan sejarah kelompok terpinggirkan seperti perempuan dan masyarakat Papua.
"Sejarah perempuan Indonesia tidak tunggal dan tidak boleh direduksi. Begitu juga dengan sejarah Papua yang kompleks dan tidak boleh hanya diposisikan sebagai objek integrasi nasional," ujar legislator dari Partai Demokrat ini.
Lebih lanjut, Anita mempertanyakan absennya sejumlah peristiwa penting dan kontroversial dalam draf sejarah tersebut, seperti tragedi 1965 dan penculikan aktivis 1998.
"Apakah narasi korban akan terus dihilangkan? Apakah kita hanya menulis sejarah untuk membenarkan kekuasaan?" tanya Anita.
Ia juga mengusulkan pembentukan mekanisme pengawasan masyarakat sipil untuk menjamin bahwa sejarah yang ditulis tidak bersifat elitis atau eksklusif. Menurutnya, transparansi dan keterlibatan publik, termasuk generasi muda dan komunitas korban, merupakan elemen kunci dalam menyusun narasi sejarah yang inklusif dan akurat.
"Kita bisa belajar dari Jerman dan Afrika Selatan. Keberanian mereka membuka luka sejarah menjadi bagian dari rekonsiliasi nasional yang jujur dan mendalam," tuturnya.
Anita berharap Kemenbud memastikan bahwa proyek besar ini bukan hanya milik sejarawan dan negara, tetapi juga mencerminkan suara rakyat yang selama ini tak terdengar.
"Penulisan sejarah nasional harus menjadi cermin keberagaman, bukan sekadar narasi tunggal yang berpihak pada satu sisi saja," pungkasnya. (jp)