Potensi Kekurangan Zat Besi Pada Anak Mulai Terjadi saat Usia 6 Bulan

Seminar kesehatan yang diselenggarakan Fakultas KesehatanMasyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKM UMJ) bersama Majelis Kesehatan Pengurus Pusat ‘Aisyiyah (Makes PPA), Jum’at 16 Mei 2025.-foto: net-
JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2024 menyebutkan prevalensi anemia pada anak 0-4 tahun sebanyak 23,8 persen.
Potensi kekurangan zat besi pada anak mulai terjadi pada usia 6 bulan.
Hal itu disampaikan Direktur Pelayanan Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan dr. Lovely Daisy, MKM, dalam seminar kesehatan yang diselenggarakan Fakultas KesehatanMasyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKM UMJ) bersama Majelis Kesehatan Pengurus Pusat ‘Aisyiyah (Makes PPA), Jum’at 16 Mei 2025.
“Hampir seperempat dari balita kita mengalami anemia,” kata dr. Lovely.
Tingginya angka ADB pada balita salah satunya terungkap setelah pelaksanaan Program Kesehatan Gratis (PKG) Kemenkes yang baru berjalan di awal tahun ini.
Lebih 1.000 lebih anak di bawah usia dua tahun ditemukan mengalami ADB.
Permasalahan ADB menjadi salah satu dari 5 gangguan kesehatan terbesar pada anak selain permasalahan gigi, hingga keterlambatan perkembangan anak.
“Kami temukan 1.000 lebih itu balita 2 tahun dengan anemia Ini prevalensinya lumayan cukup tinggi sebenarnya,” ucap dr. Lovely.
dr. Lovely pun meyakini, dengan terus berjalannya PKG, berbagai gangguan kesehatan yang terjadi pada balita dapat diketahui.
Dengan begitu, tindakan intervensi dapat dilakukan lebih cepat.
“Karena ini [PKG] baru, jadi masih sedikit. Nanti setelah ini terus berjalan, mudah-mudahan semua nanti bisa kita lakukan pemeriksaan sehingga intervensinya juga bisa kita antisipasi dengan baik,” ujar dr. Lovely.
Dokter spesialis anak, Dr.dr. T.B Rachmat Sentika, SpA, MARS mengatakan sudah sebaiknya perhatian terhadap pemenuhan zat besi tidak hanya fokus pada remaja putri dan ibu hamil, tetapi juga pada balita, terutama usia 6 - 24 bulan.
Sebab, kekurangan mikronutrien rentan terjadi pada usia tersebut.
“Upayakan anak itu mengonsumsi pangan yang difortifikasi, makanan-makanan fabrikasi yang memang diperkaya dengan vitamin dan zat gizi mikro,” jelas Rachmat Sentika.