Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP Dinilai Berpotensi Timbulkan Tumpang Tindih Kewenangan
![](https://radarlebong.bacakoran.co/upload/4a2a5606cbf0e9c87f388830dbfcb788.jpg)
Pengamat kepolisian Edi Hasibuan. -Foto: net-
JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lenkapi) Edi Hasibuan menilai bahwa revisi Undang-Undang (UU) Kejaksaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait penambahan kewenangan penyidikan dapat memicu tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan.
Menurutnya, penerapan asas Dominus Litis dalam revisi tersebut harus ditolak karena berpotensi menciptakan monopoli kewenangan, di mana jaksa seolah-olah menjadi atasan dari seluruh penegak hukum.
"Harus ada keseimbangan dalam hukum. Kita harus memahami bahwa asas Dominus Litis akan menempatkan jaksa sebagai pihak yang menentukan apakah suatu perkara layak berlanjut ke pengadilan atau dihentikan," ujar Edi dalam keterangannya, Selasa (11/2).
Dalam sistem hukum, asas Dominus Litis menjadikan jaksa sebagai pengendali utama perkara pidana. Hal ini berarti kejaksaan memiliki kewenangan penuh dalam menentukan kelanjutan proses hukum, termasuk menghentikan atau melanjutkan suatu perkara ke pengadilan.
Baca Juga: Tim Gabungan Bea Cukai Gagalkan Penyelundupan Motor Asal Thailand, Ini Daftar Barbuknya
Pendukung asas ini berargumen bahwa kewenangan tersebut akan meningkatkan efektivitas dan independensi kejaksaan dalam menangani kasus, sehingga proses hukum lebih terkontrol dan terhindar dari intervensi pihak lain. Beberapa negara yang menerapkan sistem ini, seperti Prancis dan Italia, menilai bahwa peran dominan jaksa dapat meningkatkan profesionalisme dalam proses hukum.
Namun, di sisi lain, banyak pihak menolak penerapan asas ini di Indonesia. Mereka khawatir bahwa pemberian kewenangan yang terlalu besar kepada kejaksaan dapat mengurangi prinsip checks and balances dalam sistem peradilan pidana. Jika tidak ada mekanisme kontrol yang ketat, jaksa berpotensi menyalahgunakan kewenangannya dalam menetapkan suatu perkara.
Edi menekankan bahwa kajian mendalam dan komprehensif diperlukan sebelum menerapkan asas ini. Jika tidak dikontrol dengan baik, hal ini dapat berujung pada penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
"Kami justru melihat bahwa penambahan kewenangan penyidikan dalam revisi UU Kejaksaan akan melahirkan ketidakseimbangan antara penegak hukum, termasuk jaksa, polisi, dan hakim. Ini perlu dikaji ulang agar tidak menimbulkan dampak negatif," kata Edi, yang juga anggota Panitia Seleksi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Lebih lanjut, yang juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta itu menyoroti bahwa jika revisi ini disetujui, kewenangan kejaksaan akan semakin luas. Saat ini, tugas penuntutan jaksa saja masih perlu perbaikan, apalagi jika diberikan kewenangan tambahan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.
"Jika jaksa bisa melakukan intervensi terhadap penyidikan yang dilakukan kepolisian serta menentukan sah atau tidaknya penangkapan dan penyitaan—yang selama ini menjadi ranah kehakiman—maka sistem hukum kita akan kehilangan prinsip checks and balances," tegas mantan anggota Kompolnas tersebut.
Edi berharap pemerintah dan DPR mempertimbangkan kembali revisi ini agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan yang dapat merugikan sistem peradilan pidana di Indonesia. (jp)