Wujudkan Pertumbuhan 8%, Indonesia Butuh Investasi Rp 7.000 Triliun Per Tahun

Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto mengatakan kata kunci dari pertumbuhan tinggi adalah butuh duit atau dalam bahasan makro ekonominya adalah likuiditas. -foto: net-

JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara dibentuk untuk menjaring investasi besar, baik domestik maupun asing.

Hal itu untuk memperkecil kesenjangan investasi (saving-investment gap) yang selama ini menjadi tantangan besar bagi ekonomi nasional.

Agar mencapai pertumbuhan ekonomi 8% yang ingin diraih Presiden Prabowo Subianto, dibutuhkan investasi sebesar Rp 33.000 triliun hingga 2029 atau sekitar Rp 6.000 triliun hingga Rp 7.000 triliun per tahun.   

Sementara itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki keterbatasan, tidak hanya karena perannya yang mencakup fungsi sosial, tetapi juga karena aturan hukum yang membatasi defisit anggaran maksimal 3% dari GDP.

“Dana investasi tersebut sangatlah besar. Jadi, kata kunci dari pertumbuhan tinggi adalah butuh duit atau dalam bahasan makro ekonominya adalah likuiditas," ujar Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto, Selasa (28/1).

Dia menambahkan kalau likuiditasnya tidak nambah dan perputarannya tidak kencang agak susah berbicara pertumbuhan yang akseleratif. 

Salah satu solusi yang paling memungkinkan adalah menggerakkan sektor non-pemerintah dan menarik investor untuk menanamkan modal di Indonesia.

Danantara dirancang untuk menjadi lembaga besar yang profesional dan mampu menjembatani kebutuhan likuiditas dengan memperkuat sektor riil.

"Caranya dengan melakukan terobosan-terobosan. PMDN memang perlu ditingkatkan," ucap Eko, yang juga direktur Pengembangan Big Data INDEF. 

Namun, Indonesia tidak bisa lepas dari investor asing karena mengejar pertumbuhan tinggi. Jadi, bagaimana mendorong Foreign Direct Investment (FDI) bisa masuk ke Indonesia yang kemudian dieksekusi untuk memperkuat usaha-usaha di sektor riil. 

“Poin pentingnya ialah Danantara merupakan jalan keluar untuk bisa memastikan lebih banyak lagi likuiditas yang bisa berputar untuk memperkuat sektor riil,” jelas dia. Eko juga memaparkan konsep Danantara terinspirasi dari lembaga investasi terkenal seperti Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah Nasional di Malaysia. Namun, Danantara diharapkan tidak hanya setara juga mampu melampaui kedua lembaga tersebut. Sejauh ini, strategi besar untuk Danantara sudah ada, tetapi proses pembentukan regulasi dan penyusunan struktur kelembagaannya masih dalam tahap pengembangan. Hal itu mencakup pemilihan figur-figur yang akan mengelola Danantara, daftar BUMN yang akan dimasukkan ke dalam pengelolaan Danantara, serta target dan tujuan spesifiknya. 

"Untuk mencapai itu, tata kelola, regulasi, serta peran dan tanggung jawabnya harus dipastikan jelas sejak awal,” ujar dia.

Di sisi lain, Eko memberi catatan bahwa keberadaan Danantara membawa sejumlah tantangan. Salah satu kekhawatiran utama ialah potensi kerumitan yang muncul, karena tambahan lembaga baru di tengah struktur yang sudah ada. 

“Dalam konteks ini, penting untuk memastikan bahwa peran Danantara tidak tumpang tindih dengan BUMN yang masih beroperasi. Jika tidak, hal ini justru dapat menghambat arus investasi dan pengelolaan aset,” ucap Eko.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan