Pentingnya Etika Saat Berdakwah: Belajar Viralnya Kasus Miftah Maulana

Menjaga lisan-dari banyak bicara.-Foto: net-

RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - MIFTAH Maulana Habiburrahman atau disapa jamaahnya dengan Gus Miftahsedang menjadi sorotan publik setelah video dirinya mengolok-olok seorang penjual es teh viral di media sosial.

Dalam video tersebut, dai yang dikenal dakwahnya di tempat lokalisasi ini menggunakan kata-kata kasar saat berinteraksi dengan penjual es teh di sebuah acara keagamaan di Magelang.

Walaupun niatnya gurau, tindakan ini menuai banyak kecaman dari berbagai pihak, termasuk politisi dan tokoh agama. Meski, Miftah telah meminta maaf atas insiden tersebut dan mengakui kekhilafannya, sampai saat ini di jagad media masih banyak yang mengecamnya.

Insiden ini memberikan kita pelajaran penting tentang bagaimana kita harus menjaga etika dan memperlakukan sesama, terutama mereka yang mungkin berada dalam kondisi sosial dan ekonomi yang kurang beruntung. Sering kali, kita mungkin tidak menyadari dampak dari perkataan dan tindakan kita terhadap orang lain.

Baca Juga: Beginilah Kasih Sayang Rasulullah Muhammad terhadap Hewan

Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan Sa’ad Ra. saat dirinya merasa lebih utama dan unggul dari orang yang di bawahnya secara sosial:

“Tidaklah kalian ditolong dan diberi rezeki karena orang-orang lemah di antara kalian.” (HR. Bukhari).

Hadits ini mengingatkan kita bahwa keberkahan dan rezeki yang kita peroleh sebagian besar karena adanya orang-orang lemah dan miskin di sekitar kita.

Di samping itu, menghargai orang lain, termasuk yang lemah dan miskin, adalah bagian dari ketakwaan kita kepada Allah. Qatadah berkata:

“Jangan meremehkan orang miskin, jadikan orang miskin dan kaya sama di matamu.”

Sikap ini mengajarkan kita untuk tidak membeda-bedakan orang berdasarkan status sosial atau kekayaan mereka. Dalam pandangan Islam, setiap individu memiliki nilai dan kehormatan yang sama di hadapan Allah.

Rasulullah tidak pernah meremehkan seseorang hanya karena profesinya. Bahkan beliau pernah mengapresiasi. Orang yang sungguh-sungguh mencari nafkah untuk keluarganya, juga disebut fi sabilillah.

Diriwayatkan oleh At-Thabrani dari Ka’ab bin ‘Ujrah:

“Seorang pria melewati Nabi ﷺ, lalu para sahabat Rasulullah ﷺ melihat kekuatan dan semangat pria tersebut. Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, seandainya ini dilakukan di jalan Allah.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘(Jika dia keluar berusaha untuk anak-anaknya yang masih kecil, maka dia berada di jalan Allah. Jika dia keluar berusaha untuk orang tua yang sudah tua, maka dia berada di jalan Allah. Jika dia keluar berusaha untuk dirinya sendiri, agar tidak meminta-minta, maka dia berada di jalan Allah. Tetapi jika dia keluar berusaha untuk pamer dan kebanggaan, maka dia berada di jalan setan)’.” (HR. At-Thabrani).

Ini sangat jelas menunjukkan betapa mencari nafkah pun, seremeh apapun profesinya di mata manusia, kalau itu ditujukan untuk mencari nafkah keluarga, membantu orang tua, atau supaya tidak meminta-minta, maka dinilai Nabi sebagai fi sabilillah.

Ibn Mas’ud juga pernah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

“Banyak orang yang memakai dua pakaian lusuh tidak diperhatikan oleh manusia, namun jika ia bersumpah atas nama Allah, pasti Allah akan memenuhi sumpahnya. Jika ia berkata, ‘Ya Allah, aku mohon surga kepada-Mu,’ pasti Allah memberikannya surga dan tidak memberinya apa-apa dari dunia.”

Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang yang mungkin diremehkan oleh manusia bisa jadi memiliki kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah karena keikhlasannya dalam berdoa dan bertakwa.

Kasus tersebut juga mengingatkan umat agar menjauhkan diri dari sifat sombong. Kesombongan adalah sifat yang sangat dibenci dalam Islam.

Abu bakar Ra. pernah berkata:

“Jangan meremehkan seorang Muslim pun, karena Muslim yang hina di mata manusia bisa jadi besar di sisi Allah.”

Kesombongan membuat kita merasa lebih tinggi dari orang lain, padahal semua manusia pada dasarnya sama di hadapan Allah.

Para ulama zaman dahulu juga sangat berhati-hati dalam bersikap terhadap sesama. Abu Hazim mengatakan:

“Engkau tidak akan menjadi seorang yang alim sampai dalam dirimu terdapat tiga sifat: tidak iri kepada orang yang di atasmu, tidak meremehkan orang yang di bawahmu, dan tidak menjual ilmumu untuk dunia.”

Sikap rendah hati dan saling menghargai adalah kunci untuk mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah.

Kejadian yang dialami Miftah ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga akhlak dalam berinteraksi dengan orang lain.

Rasulullah ﷺ selalu menunjukkan contoh terbaik dalam bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap semua orang, termasuk yang lemah dan miskin. Kita harus meneladani beliau dalam hal ini.

Menghormati dan tidak meremehkan orang lain, apalagi yang berada dalam kondisi sulit, adalah cerminan dari keimanan dan ketakwaan kita. Mari kita jadikan insiden ini sebagai pelajaran berharga untuk selalu menjaga lisan dan tindakan kita agar tidak menyakiti hati orang lain.

Semoga kita senantiasa diberi kekuatan oleh Allah untuk bisa menghargai dan menghormati sesama dalam setiap situasi. (net)

Tag
Share