Rapper Jepang-Palestina Meningkatkan Kesadaran Melalui ‘Gerakan Boikot’ ‘Israel’

--

RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Rapper Jepang-Palestina, cucu seorang penyintas Nakbah, baru-baru ini menggubah musiknya menjadi platform menjadi kampanye boikot dan dukungan perjuangan bangsa Palestina yang sedang tertindas dan terjajah.

Sunyinya suara masyarakat seputar penderitaan warga Palestina, khususnya warga Jepang, menjadi alasan dia meluncurkan lagunya baru-baru ini.

“Saya pergi ke sebuah unjukrasa dan bertemu seorang produser yang memberi saya irama,” kenang Danny dalam sebuah wawancara dengan AJ+.

“Mari kita bicarakan boikot. Sederhana saja. Boikot dapat dilakukan. Di Jepang, budaya protes tidak ada seperti di tempat lain, jadi turun ke jalan merupakan tugas yang lebih sulit. Namun, jika suaranya bagus, orang-orang akan mendengarkan—dan kemudian mereka akan mulai memperhatikan liriknya. Jika saya membuat musik bagus, sedikit demi sedikit, masyarakat akan belajar tentang Palestina.”

Baca Juga: Pansus Temukan Ada Jamaah Haji Bayar Rp 1,1 Miliar, Pertanyakan Peran Kemenag

Jin masih berusia 19 tahun, namun keberaniannya mengkritik hubungan Jepang dengan penjajah ‘Israel’, bahkan mengkampanyekan gerakan boikot dalam sebuah lirik lagunya.

Ia menyadari betapa sedikitnya kesadaran warga Jepang tentang penjajahan di Palestina.

Meskipun gerakan Free Palestine semakin populer di negara Asia Timur itu, dengan beberapa kampanye kesadaran, termasuk Tears For Palestine—protes alternatif yang diselenggarakan oleh Palestinians of Japan (POF)—rapper itu mencatat lebih banyak yang bisa dilakukan dalam membela Palestina.

“Mayoritas orang Jepang bahkan tidak terlibat dengan lanskap politik mereka sendiri, apalagi Palestina,” jelas Jin. “Itulah sebagian dari masalahnya. Media tidak menjelaskan apa yang terjadi, dan kebanyakan orang tidak tahu.”

Artis yang tinggal di Tokyo ini, memulai karier musiknya tahun lalu, telah menjadi advokat untuk isu-isu hak asasi manusia (HAM) sejak ia berusia 14 tahun.

Sebagai bagian dari diaspora Palestina, ia tidak dapat kembali ke tanah airnya karena, pada tahun 1948, milisi Zionis secara paksa mengusir lebih dari 750.000 warga Palestina, pemilih tanah asli Palestina.

Yang bisa dilakukan, ia secara rutin ikut hadir dalam protes dan unjukrasa yang mengadvokasi kebebasan Palestina.

“Saya setengah Palestina, setengah Jepang. Ayah saya orang Palestina. Kakek-nenek saya dijadikan pengungsi oleh peristiwa Nakba. Setelah itu, kami menjadi bagian dari diaspora Palestina,” ungkapnya.

“Saya lahir dan dibesarkan di Jepang, tetapi saya tidak akan pernah merasa sepenuhnya sebagai orang Jepang. Bahkan sebagai seorang anak, saya selalu merasa terikat dengan Palestina. Ketika orang bertanya kepada saya, ‘Apa itu Palestina? Di mana orang Palestina?’—saya tidak terkejut,” ungkapnya.

Jepang adalah salah satu dari beberapa negara yang menawarkan suaka politik kepada warga Palestina, dan memiliki sejarah aktif memberikan bantuan kepada mereka yang berada di bawah penjajahan.

Namun, Jin merasa bahwa banyak orang Jepang masih harus berusaha keras untuk memahami sepenuhnya perjuangan Palestina.

Seniman tersebut yakin bahwa musiknya dapat membantu meningkatkan kesadaran dan membangun perspektif yang lebih bernuansa tentang realitas yang dihadapi oleh mereka yang hidup di bawah pendudukan.

“Beberapa orang mulai belajar tentang Palestina melalui musik saya,” kata Jin. “Bahkan ada orang yang mengatakan kepada saya bahwa mereka ikut serta dalam protes setelah mendengar lagu-lagu saya.” (net)

Tag
Share