Menghidupkan Nilai Ramadhan

Kamis 24 Apr 2025 - 22:30 WIB

Contoh kasus adalah ketika melihat produk-produk pro Zionis yang secara terang-terangan membantu pendanaan dalam membantai rakyat di Palestina, tentu para muttaqin yang sudah meresapi nilai-nilai filosofis daripada ibadah puasa akan memboikot produk-produk tersebut dan beralih kepada produk serupa namun yang tidak terafiliasi dengan Zionis.

Meskipun terkadang di satu situasi tertentu para muttaqin secara manusiawi ingin terhadap produk pro-Zionis tersebut, namun nilai filosofis puasa (Imsak an as Syai’) yang sudah tertanam tadi mampu mencegahnya terhadap keinginan tersebut.

Dan hal ini berkebalikan dengan para munafikin yang bahkan sedari awal telah gagal mendapatkan pelajaran selama “madrasah” Ramadhan.

Syahwat perut dan birahi mereka yang gagal dididik selama Ramadhan tentu akan semakin binal ketika berada di luar Ramadhan. Maka tidak heran jika hari ini masih banyak didapati orang-orang yang “kebetulan” menempel atribut agama Islam di tubuhnya (seperti berhijab, berpeci, berjenggot dsj) namun masih doyan makan di restoran waralaba pro Zionis, memakai produk-produk Zionis dan bahkan menjadi brand ambassador produk-produk mereka.

Rasa empati dan simpati telah hilang dari hati mereka terhadap penderitaan rakyat Palestina. Padahal Rasulullah ﷺ pernah mengancam bahwa siapapun yang tidak peduli urusan kaum Muslimin maka dia bukan termasuk golongan daripada umat Nabi Muhammad ﷺ.

Dan kelakuan kaum munafik ini adalah gambaran produk gagal daripada Ramadhan. Dimana Allah telah memberi kesempatan emas berupa bulan termulia namun malah disia-siakan.

Bukti dari penyia-nyiaan terhadap Ramadhan adalah tidak giat beribadah di dalamnya namun malah sibuk bermain- main.

Bulan Ramadhan dipandang tidak lebih dari sekedar festival jajanan tahunan dimana mereka sibuk berburu makanan (takjil war), sibuk adu petasan berujung tawuran, asik bangunkan sahur meskipun tidak sedikit yang paginya tidak ikut berpuasa.

Maka wajar dari dua sudut pandang (worldview) yang berbeda ini muncul dua golongan berbeda dalam penyikapan terhadap akhiran bulan Ramadhan.

Yang satu menangis saat berpisah dengan bulan Ramadhan (yakni kaum Sholihin) dan golongan yang satunya malah berbahagia saat Ramadhan usai sebab Ramadhan dianggap telah mengekang dan membatasi ruang kemerdekaan syahwat mereka.

Mengenai dua golongan tersebut, Hatim Al A’shom Rahimahullah pernah mengatakan,

 من علامة المؤمن أن يفعل الطاعات ومع ذلك يبكي، ومن علامة المنافق أن ينسى العمل ثم يضحك

“Termasuk tanda-tanda orang beriman adalah (mereka) melakukan ketaatan sembari di saat yang sama mereka menangis. Dan termasuk daripada tanda orang munafik adalah (mereka) lupa (dilupakan) terhadap amal (sholeh) alias tidak mengerjakannya kemudian (mirisnya) mereka malah tertawa.”

Walhasil, Ramadhan adalah madrasah tahunan yang diadakan untuk mendidik orang-orang beriman agar bisa menjadi manusia bertaqwa dimana golongan muttaqin inilah yang dilabeli Allah sebagai sebaik-baik golongan di sisi Allah.

Dan implementasi daripada nilai-nilai ibadah selama bulan Ramadhan adalah di luar bulan Ramadhan itu sendiri. Inilah ajang pembuktian kelayakan kita sebagai orang yang bertaqwa, pantas atau tidakkah kita menyandangnya. Puasa telah mendidik kita agar mampu mengendalikan syahwat perut, kemaluan, anggota badan lahiriah dan batiniah. Dimana kerusakan masyarakat bahkan negara (berupa merajalelanya korupsi dsj) berasal dari syahwat-syahwat tersebut. Dan kemampuan dalam mengendalikan syahwat lahiriah serta batiniah (hati) inilah yang menjadi ciri khas pembeda antara orang beriman dan orang munafik.

Imam Abdul Wahab as Sya’roni mengutip hadis Nabi di dalam kitabnya Tanbihul Mughtarin yang berbunyi,

Kategori :