Judicial Review UU TNI oleh Perwira Aktif Dinilai Upaya Sistematis Kembalikan Dwifungsi ABRI

Jumat 18 Apr 2025 - 23:13 WIB

"Ketika UU TNI baru justru menghilangkan keputusan politik Negara dalam OMSP hal itu yang memunculkan keanehan dan bertolak belakang dengan logika Konstitusi. Hal ini pula yang menempatkan UU TNI yang baru tidak sejalan dengan Konstitusi dan berbahaya bagi demokrasi," tuturnya.

Lebih parah lagi, kata Al Araf, dalam rangka OMSP membantu tugas pemerintah daerah, penjelasan UU TNI, militer dapat terlibat di antaranya, mengurusi pembangunan infrastruktur, pemogokan, dan konflik.

"Selain tidak konsisten dengan pengaturan di tingkat pusat dan klausulnya seakan 'disembunyikan' di Penjelasan, pengaturan ini jelas berbahaya bagi kebebasan sipil dan demokrasi, karena militer kembali dapat mengatasi aksi mogok sebagaimana masa Orde Baru," kata dia.

Dalam perspektif HAM, katanya, dengan dihapusnya Pasal OMSP yang mengharuskan melalui keputusan politik negara, pada dasarnya otoritas sipil berupaya lepas tanggung jawab dari OMSP yang terjadi. Dengan demikian, pertanggungjawaban dibebankan pada pelaksanaan operasi semata.

Hal itu dinilai akan menyulitkan pertanggungjawaban komando tertinggi, dalam hal ini Presiden selaku penguasa atas 3 (tiga) angkatan itu.

"Jadi, jika ada OMSP yang berdampak pada terjadinya pelanggaran HAM berat, otoritas sipil dalam hal ini Presiden berupaya lari dari tanggung jawab itu. Dengan kata lain, UU TNI baru terkait OMSP membuat akuntabilitas dan pertanggungjawaban komando menjadi tidak jelas," ucapnya.

Menurut koalisi, Pasal 47 Ayat (1) UU TNI juga masih memberi ruang masuknya militer duduk di jabatan sipil, seperti pencantuman Sekretariat Presiden yang boleh diisi oleh TNI aktif, BNPB dan lainnya. Padahal, di UU TNI sebelumnya tidak diperbolehkan, sehingga klausul ini yang memperkuat adanya dwifungsi TNI di dalam UU baru.

"Seharusnya, Sekretariat Presiden adalah jabatan sipil, yang diisi oleh sipil, sehingga TNI aktif harus mundur jika menduduki jabatan tersebut," ujar Al Araf.

Koalisi juga memandang Pasal 53 UU TNI yang memberi ruang perpanjangan masa pensiun akan berdampak pada organisasi TNI. Seharusnya perpanjangan pensiun cukup pada bintara, sedangkan terhadap perwira tidak diperlukan, karena hal itu akan menimbulkan masalah baru bagi organisasi dengan menumpuknya perwira menengah tanpa jabatan.

"Perpanjangan pensiun di level Perwira akan berdampak pada problematika organisasi TNI, yaitu terkait sistem meritokrasi," katanya.

Terakhir, koalisi juga menyampaikan perhatian serius atas pengajuan Judicial Review yang dilakukan oleh salah satu perwira aktif TNI sekaligus pengajar Universitas Pertahanan (Unhan) terkait dengan larangan TNI aktif untuk berbisnis dan berpolitik.

"Proses ini sangat berbahaya bagi demokrasi, karena dengan adanya pengesahan UU TNI yang bermasalah secara formal dan substansial dan MK menerima penghapusan pasal larangan berbisnis dan berpolitik bagi TNI, keduanya akan semakin memperkuat kembalinya dwifungsi ABRI sebagaimana terjadi masa Orde Baru," kata Al Araf.

Diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan berisikan terdiri dari Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, LBH Jakarta, LBH pers,  ICJR, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, BEM SI, Dejure dan beberapa organisasi lainnya. (jp)

Kategori :