'Venom: The Last Dance': Konklusi Trilogi Yang Menyedihkan dan Mengecewakan
Venom: The Last Dance menjadi seri penutup dari trilogi Venom yang dimulai pada 2018.-Foto: net-
RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Sony Pictures sepertinya sudah harus mulai menyadari kapasitas mereka dalam menggarap film bertema superhero, apalagi jika tokoh yang digodok adalah mereka yang sudah punya nama besar dan punya tempat sendiri di hati para penggemarnya.
Pasalnya, nyaris semua film superhero garapan mereka yang diangkat dari komik Marvel mendapat kritikan pedas karena tidak sesuai ekspektasi. Singkat kata, filmnya jelek.
Mulai Fantastic Four (2015), Morbius (2022) hingga Madame Web (2024), semuanya tidak luput dari cercaan kritikus film. Namun, yang paling sulit dimaafkan mungkin adalah film terbaru mereka yang tengah tayang di bioskop saat ini: Venom: The Last Dance.
Ada alasan mengapa film penutup trilogi yang dibintangi oleh Tom Hardy ini bisa dibilang merupakan karya yang, mungkin, bisa menyakiti hati para penggemar Venom yang begitu ikonik di dunia komik. Pasalnya, ini adalah nomor penutup yang buruk dari dua film sebelumnya yang juga gagal dieksekusi dengan baik.
Digarap oleh tiga sutradara berbeda, tidak ada satu pun yang bisa membuat franchise ini memenuhi ekspektasi kebanyakan orang. Film pertama, yakni Venom (2018) yang disutradarai oleh Ruben Fleischer hadir dengan plot yang begitu berantakan, tidak fokus serta gagal merepresentasikan sosok Venom yang harusnya menakutkan menjadi alien symbiote yang gemar bercanda, berisik dan slengekan.
Kesalahan ini kembali diulangi di film kedua, Venom: Let There Be Carnage (2022) yang disutradarai aktor Andy Serkis. Kehadiran sosok Carnage, salah satu supervillain yang merupakan musuh bebuyutan Venom dan Spider-Man dan cukup dinanti-nantikan, juga belum berhasil menjadikan franchise ini sebagai judul yang diperhitungkan.
Seolah tidak belajar dari dua prekuel di atas, sutradara Kelly Marcel yang dipercaya untuk menggarap Venom: The Last Dance kian 'menyempurnakan' kegagalan franchise ini lewat film berdurasi 109 menit yang digarap dengan begitu terburu-buru, hambar dan tidak menyentuh sama sekali.
Padahal, film ini adalah perpisahan antara Venom dengan Eddie Brock, sang induk semangnya. Hal yang semestinya jadi bahan jualan utama ini justru sama sekali tidak berasa gara-gara bobot plot yang begitu ala kadarnya, bahkan terkesan sangat malas dan 'yang penting kelar'.
Venom: The Last Dance dibuka oleh pengenalan tokoh baru bernama Knull (Andy Serkis) yang merupakan kreator dari para simbiot. Dikurung di sebuah planet bernama Klyntar, Knull mengirim pasukan monsternya ke bumi untuk memburu Venom.
Knull membutuhkan sebuah benda bernama codex di dalam tubuh Venom yang telah menyatu dengan Eddie Brock. Codex ini kelak akan digunakan olehnya untuk membebaskan diri dari Klyntar sebelum kemudian ia memusnahkan seluruh galaksi. Di sinilah petualangan terakhir Venom dan Eddie Brock dimulai.
Dari sinopsis singkat di atas, penonton tentunya berharap Venom akan berjibaku dengan Knull. Sebagai film penutup trilogi, sudah selayaknya Knull yang merupakan pencipta simbiot bertarung dengan kreasinya sendiri yang merupakan protagonis utama dalam film.
Sayang, hal ini tidak terjadi sama sekali. Knull, antagonis utama dalam saga simbiot yang diadaptasi ke film ini, justru hanya punya porsi yang amat sedikit. Ini yang jadi masalah utama dari film ini.
Alih-alih bertarung secara brutal melawan Knull, Venom di sepanjang film hanya berkejar-kejaran dan berkelahi melawan monster peliharaan Knull yang dibuat kelewat kuat, bahkan tetap tidak bisa mati ketika dikeroyok oleh Venom dan symbiote lainnya. Akibatnya, penonton hanya disuguhkan oleh adegan action yang nanggung tanpa berasa epic sama sekali, karena ekspektasi penonton sudah mengarah ke sosok Knull yang hingga penghujung film tidak beraksi sama sekali.
Penggarapan kisah yang digarap begitu lemah dan seadanya juga kian membuat Venom: The Last Dance sulit disebut sebagai film bagus. Hubungan antara Venom dan Eddie Brock yang sudah terjalin dalam tiga film sungguh tidak berasa kental sama sekali. Hingga akhirnya keduanya berpisah, sama sekali tidak ada rasa sedih yang bergetar di dada.Sejumlah adegan tidak penting dan 'bodoh', seperti adegan dansa Venom bersama Mrs. Chen dengan iringan lagu 'Dancing Queen' dari ABBA juga kian membuat Venom: The Last Dance layak disebut sebagai film terburuk dibanding dua pendahulunya.
Jika mau melihat dengan sudut pandang yang lebih bijak, sebetulnya hal ini sangat bisa dimaklumi karena sang sutradara, Kelly Marcel, betul-betul masih sangat hijau.
Sulit untuk membayangkan seberapa besar beban yang harus ia pikul ketika film layar lebar perdana yang dibebankan kepadanya adalah film tentang Venom, tokoh fiksi yang punya nama begitu besar. Tak hanya Kelly Marcel, sutradara baru manapun pasti akan punya tekanan serupa yang berujung lahirnya sebuah karya setengah matang yang kurang layak tayang.
Namun, ini bukan tentang memaklumi kinerja sutradara kemarin sore.
Dilihat dari sudut pandang manapun, Venom sangat tidak layak untuk dijadikan proyek uji coba sutradara yang belum berpengalaman.
Karenanya, tidak berlebihan rasanya jika ada penggemar komik Marvel yang menyebut pembuatan film ini sebagai sebuah dosa besar yang semata-mata dilakukan hanya demi mendulang pundi-pundi uang.
Jika tujuan utama Venom: The Last Dance adalah menghadirkan nuansa sedih, sebetulnya Kelly Marcel dan Sony Pictures berhasil. Ya, mereka sukses membuat penonton sedih, setidaknya dari sudut pandang pribadi.
Hanya saja, bukan sedih karena haru biru tarian terakhir Venom dan Eddie Brock, melainkan sedih miris karena bisa-bisanya sosok sebesar Venom dibuatkan film dengan kualitas yang begitu buruk dan sangat tidak sebanding dengan ketenaran dan kesakralannya.
Secara keseluruhan, Venom: The Last Dance mungkin hanya layak disaksikan oleh mereka yang penasaran dengan akhir franchise ini. Bagi Anda yang sudah menonton dua film sebelumnya dan ingin melihat sendiri akhir perjalanan dari Venom dan Eddie Brock, bersiap-siaplah untuk menyaksikan sebuah konklusi trilogi yang amat menyedihkan dan mengecewakan.
KOLABORASI SONY PICTURES X OPPO INDONESIA
Dalam press screening Venom: The Last Dance pada 22 Oktober kemarin, OPPO Indonesia mengumumkan kolaborasi eksklusif dengan Sony Pictures dengan menghadirkan kombinasi symbiote Venom dan inovasi teknologi terbaru dari OPPO Reno12 F Series.
Kolaborasi ini tak hanya menggabungkan karakter Eddie Brock dan Venom, tetapi juga memperkenalkan fitur-fitur canggih yang mampu 'mengeluarkan kekuatan tersembunyi' dari perangkat OPPO Reno12 F Series terbaru.
Acara ini tidak hanya menyuguhkan film, tetapi juga memberikan kesempatan kepada para undangan untuk mencoba langsung fitur-fitur unggulan Reno12 F Series 5G yang dipadukan dengan nuansa Venom di booth yang tersedia di OPPO Gallery Gandaria City, Jakarta.
Pengguna dapat mengekspresikan sisi villainous mereka dengan fitur AI Studio di perangkat Reno12 F 5G, fitur ini dapat mengubah siapa saja untuk Venomize diri mereka dalam hasil foto portrait unik dengan hanya berbekal 1 foto diri. Teknologi AI generatif canggih ini menghadirkan pengalaman foto interaktif yang belum pernah ada sebelumnya, hanya tersedia secara eksklusif di OPPO AI Studio.
Jika Eddie Brock memiliki kekuatan super dengan membawa Venom, OPPO memiliki kekuatan tersembunyi dengan Reno12 F Series yang penuh tenaga. Memadukan keunggulan All-Round Armour dengan IP64 anti air dan debu, menjadikan Reno12 F Series sangat tangguh sekuat Venom untuk dapat bertahan di segala situasi dan tantangan. TIdak hanya kuat, OPPO juga menawarkan pengalaman visual yang lebih maksimal dengan Halo Light dalam desain Cosmos Ring pada Reno12 F Series, memancarkan kesan futuristik yang agresif dengan lampu RGB.
Dibekali dengan teknologi AI yang penuh tenaga, fitur AI Eraser 2.0 hadir untuk menghapus setiap objek menggangu dalam foto dengan mudah, sedangkan AI Linkboost akan memberikan performa sinyal yang optimal di segala situasi bahkan di tempat yang sulit dijangkau sekalipun. Baik untuk hiburan maupun streaming tanpa gangguan, Reno12 F Series hadir dengan baterai buas sebesar 5000mAh untuk menjadi pendamping yang tepat bagi para pengguna yang menginginkan perangkat yang selalu dapat diandalkan. (jp)