Menjaga Akidah Generasi Muda di Era Digital

--

RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - TANTANGAN generasi muda di masa depan semakin kompleks. Mereka tidak hanya disibukkan sulit menuntut ilmu, memenuhi kebutuhan hidup, mengatasi berbagai macam persoalan, dan meredam gejolak perang pemikiran antar kelompok.

Akan tetapi lebih dari itu, massifnya serangan pemikiran (ghazwul fikri) melalui muatan media sosial sangat memforsir pikiran dan tenaga mereka.

Dewasa ini tontonan-tontonan yang dihadirkan platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok, Telegram, WhatsApp dan sejenisnya membuka ruang tak bertepi.

Segala yang bersifat privasi terpampang, setiap aktivitas kehidupan dipertontonkan ke khalayak tanpa mencermati apakah hal itu pantas atau tidak.

Yang menjadi persoalan serius lainnya ialah semua bentuk pornoaksi dan pornografi terbuka lebar.

Mulai anak umur 3 tahunan hingga belasan ikut mengonsumsi. Bahkan mereka disuguhkan tindakan kekerasan dan amoral yang seharusnya tidak pantas ditonton.

Tentu keadaan semacam ini tidak dapat ditolerir. Orang tua, guru, para tokoh dan orang-orang yang berwenang duduk bersama mencari jalan keluar yang kemudian melahirkan langkah-langkah defensif sebagai tameng. Setidaknya ada beberapa langkah yang harus diambil, yaitu:

1. Kontrol Pergaulan

Di antara langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk menjaga akidah anak di era serba digital ialah mengawasi pergaulan mereka. Pengawasan di dalam rumah tangga sangat tidak cukup, orang tua harus berperan aktif memantau dimana dan dengan siapa mereka bergaul. Hindari interaksi dengan orang-orang yang dapat merusak akal serta iman.

Sebab hal itu akan berpengaruh pada gaya berpikir (think), bertindak (action) dan berucap (speech). Jaga kejernihan jiwa mereka dari pengaruh buruk lingkungan yang mengitari.

Imam al-Ghazali seperti yang dinukil oleh Ibnul Hajj berkata:

‎وَالصَّبِيُّ أَمَانَةٌ عِنْدَ وَالِدَيْهِ، وَقَلْبُهُ الطَّاهِرُ جَوْهَرَةٌ نَفْيْسَةٌ سَاذِجَةٌ خَالِيَةٌ عَنْ كُلِّ نَقْشٍ وَصُوْرَةٍ، فَإِنْ عَوَّدَ الخَيْرَ وَعَمِلَهُ نَشَأَ عَلَيْهِ، وَسَعَدَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَإِنْ عَوَّدَ الشَّرَ وَأَهْمَلَ إِهْمَالَ البَهَائِمَ شَقَي وَهَلَكَ،… وَصِيَانَتُهُ بِأَنْ يُؤَدَّبَهُ وَيُهَذِّبُهُ وَيُعَلِّمُهُ مَحَاسِنَ الأَخْلَاقِ…،”

Setiap anak adalah amanah bagi orang tuanya. Setiap anak memiliki qalbu (hati) suci sebagai mutiara atau perhiasan berharga yang sederhana hampa dari coretan dan gambaran. Jika setiap anak dibiasakan dengan hal-hal yang baik, ia akan tumbuh dengan kebaikan dan kebahagiaan dia dunia dan di akhirat. Sebaliknya, jika dibiasakan berbuat yang tidak baik dan ditelantarkan pendidikannya seperti hewan, ia akan celaka dan merugi. Oleh karena itu, setiap anak harus dilindungi dengan cara mendidik, meluruskan, dan mengajarkannya akhlak yang baik. (Ibnul Hajj, Al-Madkhalu ila tanmiyatil A’mali bi tahsininniyati, 462).

Dengan demikian, kejernihan dan kemurnian jiwa seorang anak jangan sampai tercermari pergaulan yang rusak. Mereka ibarat kertas putih yang belum tergores tinta manapun.

2. Penguatan Nilai-nilai Agama

Kehadiran agama bagi umat manusia menjaga kerusakan dari segala aspek. Baginda Rasulullah ﷺ menyebut sebagai pelindung saat menjalani kehidupan.

Sebuah riwayat yang bersumber dari sahabat mulia Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:

‎اللّٰهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِيْنِي الَذِّي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِيْ

“Ya Allah perbaikilah agamaku sebagai benteng urusanku.” (HR: Muslim)

Makna hadits ini ialah sebuah agama menjadi pelindung semua urusan dunia, jika agama rusak maka seluruh urusannya akan ikut rusak”. (Al-Munawi, At-Taisiru bi Syarhi al-Jami’ as-Shaghir, 1/219). Dalam Faidhul Qadir disebutkan, apabila agama rusak maka rusak pula dunia dan akhirat. (2/137).

Dampak kerusakan dari sebuah agama tidak hanya berefek pada kehidupan dunia, akan tetapi juga akhirat. Maka muatan yang terkandung dalam ajaran agama harus dilestarikan agar mampu melindungi anak-anak dari bahaya media sosial. Dimana jiwa dan pikiran yang telah tersentuh nilai-nilai otomatis mampu menolak berbagai pengaruh negatif.

3. Rumah Tangga yang Islami

Keluarga merupakan lingkup terkecil dalam sebuah negara. Kesuksesan negara dalam mencetak generasi emas tak lepas dari keberhasilan sebuah rumah tangga yang didik dengan nilai-nilai islami. Menikah bukan sekedar melepas hasrat hewani. Akan tetapi tujuan sebuah pernikahan untuk mencari rida Allah swt.

Dewasa ini kita disuguhkan berita betapa rusaknya kehidupan rumah tangga seorang muslim. Dimana hari-hari mereka diwarnai pertengkaran dan terkadang berakhir dengan pembunuhan.

Maka untuk menghindari itu seyogyanya sebelum melangkah ke jenjang pernikaha, setiap pasangan mesti memasang niat baik dan mengedapankan bimbingan wahyu. Baginda Rasulullah ﷺ telah gariskan bagaimana seorang laki-laki mencari calon istri yang tepat.

Riwayat yang bersumber dari Abu Huraira ra, Rasulullah ﷺ bersabda:

تُنْكَحُ المَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Seorang perempuan dinikahi karena empat perkara; 1) Karena hartanya, 2) nasabnya, 3) cantik rupanya, dan 4) agamanya. Pilihlah agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR: Bukhari dan Muslim)

Begitu pula sebaliknya, seorang perempuan telah dituntun baginda Rasulullah ﷺ dalam memilih calon suami.

‎ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ

“Jika seseorang datang (melamar anak) kalian, sedang kalian rida pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan.” (HR: Tirmidzi)

Dengan demikian, kunci keberhasil dalam menghadirkan keluarga islami berawal dari ketangkasan memilih calon suami atau istri. Maka kemudian dari mereka akan lahir anak-anak yang shaleh dan salehah. (net)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan