Hakikat Hidup Zuhud

--


Zuhud itu menenangkan kalbu dan badan, sebagian ulama meninggalkan keharaman, dan meninggalkan segala perkara yang menyibukkan dari upaya mengingat Allah SWT

SETIAP Muslim sejatinya berlaku zuhud di dunia yang fana ini. Begitu pentingnya zuhud, Imam al-Hasan al-Bahsri sering menasihati Khalifah Umar bin Abdul Aziz agar selalu hidup zuhud.

Berkata Imam al-Bashri: “Zuhud itu menenangkan kalbu dan badan. Sungguh, Allah SWT pasti menanyai kita tentang perkara halal yang kita nikmati. Lalu bagaimana dengan perkara haram yang kita nikmati?” (Abu Bakr al-Baihaqi, Kitâb az-Zuhd al-Kabîr, 1/68).

Persoalannya, apa itu zuhud?

Imam Hanbali  menjawab,  “Zuhud itu ada tiga jenis. Pertama: Meninggalkan keharaman. Ini adalah zuhud orang awam. Kedua: Meninggalkan perkara mubah/halal yang tak bermanfaat. Ini adalah zuhud orang istimewa. Ketiga: Meninggalkan segala perkara yang menyibukkan dari upaya mengingat Allah SWT. Ini adalah zuhud orang arif (yang makrifat kepada Allah SWT, pen.).” (Madârik as-Sâlikîn, II/14).

Lalu bagaimana supaya kita bisa hidup zuhud? Dalam hal ini Imam al-Hasan al-Bahsri memberi kita nasihat; “Siapa saja yang mengenal hakikat Allah SWT akan mencintai-Nya. Siapa saja yang mengenal hakikat dunia akan zuhud terhadapnya.” (Ibn Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn, 1/339).

Yang pasti, zuhud bukan berarti menjauhi dunia atau hidup miskin. Kata Sufyan ats-Tsauri, “Zuhud itu bukan berarti harus makan makanan yang keras (tidak enak), bukan pula memakai pakaian dari kain kasar. Namun, zuhud itu adalah membatasi angan-angan dan sungguh-sungguh dalam menanti datangnya kematian (dengan banyak beramal).” (Sîrah Sufyân ats-Tsawrî).

Alhasil, boleh saja orang kaya, namun kekayaannya tidak menjadikan dirinya cinta dunia. Dia justru menjadikan harta kekayaannya sebagai sarana untuk terus mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.

Dia memanfatkan harta kekayaannya untuk beribadah kepada Allah SWT, berinfak di jalan-Nya, bersedekah membantu fakir-miskin, berwakaf demi kepentingan Islam dan kaum Muslim, dsb. Sebab, kata Imam Ali kw., “Zuhud itu adalah Anda lebih percaya dengan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tanganmu sendiri.”

Karena yakin bahwa balasan yang ada di sisi  Allah SWT lebih baik, Abu ad-Dahdah tak segan-segan mewakafkan kebun miliknya yang ditumbuhi 900 pohon kurma (yang tentu bisa menghasilkan uang miliaran rupiah pertahun, pen.)—kepada Rasulullah ﷺ . (HR Abu Ya’la dan ath-Thabrani). Bagaimana dengan kita?. (*)

Tag
Share