Jangan Jadikan Bukber Ajang Pamer dan Persaingan

Ilustrasi buka bersama (bukber).-Foto: net-

RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Tradisi buka bersama (bukber) menjadi momen kebersamaan dan ajang mempererat silaturahmi, namun tak jarang juga menjadi ajang memamerkan diri.

Demikian menurut Awan Setia Dharmawan, S.Sos., M.Si,  dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).  

“Orang bukber itu membawa kepentingan yang berbeda. Ada yang murni ingin menjalin silaturahmi atau justru show off dengan menampilkan apa yang dipunya. Ini merupakan salah satu bentuk ekspresi diri selama masih dalam batas yang wajar,” ujar Awan.

Menurut Awan ada beberapa alasan mengapa orang melakukan pamer saat bukber. Salah satunya adalah sebagai upaya balas dendam dari pengalaman masa lalu.

Baca Juga: Profesor Terkenal Harvard Masuk Islam, Langsung Ikut Puasa Tahun Ini

“Mungkin dulu sempat dibully dan sekarang ingin membuktikannya. Tapi, ini secara tidak langsung atau eksplisit,” ujar awan.

Selain itu, momen berkumpul dalam bukber seringkali dijadikan platform untuk menegaskan siapa diri seseorang di hadapan orang lain. Ini sejalan dengan konsep personal branding yang bertujuan untuk mengendalikan atau mempengaruhi bagaimana citra diri seseorang dilihat oleh orang lain.

“Dalam perspektif sosiologis, fenomena pamer dalam bukber dapat dipahami sebagai bagian dari teori hyper consumption, di mana masyarakat cenderung mengonsumsi barang lebih dari kebutuhan untuk mengekspresikan identitas dan status sosialnya,” ungkapnya.

Fenomena ini semakin dipicu dengan kebutuhan untuk berfoto dan mengunggahnya di media sosial. Ini memunculkan tekanan untuk tampil menarik dalam setiap kesempatan.

Bahkan, jika itu berarti harus mengeluarkan uang untuk membeli barang-barang baru atau mempersiapkan bukber dengan segala kemewahan.

Ironisnya, hal tersebut dapat memunculkan rasa iri di kalangan individu tertentu karena merasa terpinggirkan atau tidak mampu mengikuti gaya hidup yang lainnya.

Namun, yang lebih penting adalah bagaimana individu dapat mengelola emosinya di tengah tekanan sosial tersebut.

“Bahkan, kadang ada pertanyaan yang lebih personal, seperti ‘Kapan lulus? Penghasilanmu berapa? Kerja di mana?’.  Pertanyaan itu efeknya bisa mengerikan, seperti halnya menutup komunikasi kembali atau justru bunuh diri,” tegasnya.

Karenanya  Awan berharap, jangan sampai momen yang seharusnya penuh kebersamaan dan keberkahan, berubah menjadi ajang pamer dan persaingan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan