Bullying Layak Masuk Ranah Pidana, tetapi Jangan Lupakan Perlindungan Anak
Reza Indragiri. Ilustrasi.-Foto: net-
JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Konsultan Yayasan Lentera Anak Reza Indragiri Amriel menilai kasus SMAN 72 Jakarta menjadi potret getir keterlambatan penanganan perundungan di sekolah-sekolah Indonesia.
"Dari kerja-kerja saya di sejumlah organisasi perlindungan anak, saya harus katakan bahwa peristiwa di SMAN 72 adalah bukti tambahan tentang bagaimana kita lagi-lagi terlambat menangani perundungan," kata Reza dalam keterangannya, Minggu (9/11).
Menurutnya, keterlambatan tersebut berakibat fatal. Korban yang semula mengalami penderitaan berkepanjangan akhirnya bertarung sendirian dan dalam sekejap bisa bergeser statusnya menjadi pelaku kekerasan.
"Korban bullying acap mengalami viktimisasi berulang. Pertama saat dirundung teman, kedua saat mencari pertolongan, tapi justru diabaikan. Bahkan, ketika melapor ke polisi, bisa saja korban diminta memaafkan pelaku dengan dalih restorative justice. Itulah bentuk viktimisasi ketiga," jelasnya.
Ia menambahkan, puncak penderitaan korban sering kali bermuara pada tindakan kekerasan terhadap diri sendiri atau orang lain. "Belum sempat kita memberikan pertolongan kepadanya sebagai korban, justru hukuman berat yang tampaknya sebentar lagi akan kita timpakan kepada dia sebagai pelaku. Getir, menyedihkan," terangnya. Reza juga menyoroti fakta bahwa sebagian besar anak yang menjadi pelaku perundungan ternyata juga pernah menjadi korban.
"90 persen anak yang menjadi pelaku bullying sebenarnya juga korban bullying. Jadi persoalannya tidak bisa dipandang hitam putih," ujarnya. Ia menegaskan, bahwa perilaku perundungan sudah seharusnya disikapi serius sebagai bentuk agresi berkepanjangan, bukan sekadar dinamika perkembangan anak. Karena itu, menurut Reza, menjadikan bullying sebagai perkara pidana masuk akal.
Namun, karena pelaku masih berusia anak-anak, negara wajib merujuk pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). "SPPA mengingatkan bahwa anak yang melakukan pidana tetap harus dipandang sebagai insan yang memiliki masa depan. Negara, termasuk masyarakat, harus membersamainya menuju masa depan itu," ucap alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Dalam proses hukum, Reza mendorong agak hakim tidak memandang kasus semata dari sisi pidana, tetapi meninjau secara multidimensi dan multifaktor. Ia bahkan mendorong penerapan Bioecological Model (BM) dan Interactive Model (IM) yang menelaah pengaruh lingkungan terhadap perilaku anak. Namun, ia juga mengakui bahwa penerapan pendekatan ini tidak mudah.
"Itu menuntut kerja keras lintas pemangku kepentingan dan bertentangan dengan asas persidangan yang cepat dan sederhana. Akibatnya, korban bullying yang menjadi pelaku tetap saja sendirian menanggung konsekuensi hukum atas 'aksi kejahatannya'," pungkasnya.