Demi Rakyat

Catatan Dahlan Iskan-foto :disway.id-

Korban tewas di seluruh Tiongkok mencapai 35 juta orang. Terbanyak di Nanjing. Kekejaman Jepang di Nanjing sangat membekas di seluruh rakyat Tiongkok.

Insiden di jembatan Marcopolo itu juga menjadi simbol keberanian pejuang Tiongkok. Disebut Marcopolo karena pelancong Italia yang Anda sudah kenal itu pernah ke jembatan tersebut dan menulis tentang keindahannya.

Di Taiwan kemenangan Tiongkok itu juga diperingati. Setiap tahun. Bahkan kemenangan itu dijadikan dasar bahwa Taiwan berhak memerintah kembali seluruh Tiongkok. Dasarnya: saat kemenangan itu terjadi yang berkuasa di Tiongkok adalah partai Kuomintang dengan Chiang Kai-shek sebagai ketuanya.

Setelah Tiongkok menang perang terjadilah perang sipil: Koumintangnya Chiang Kai-shek lawan Komunisnya Mao Zedong. Chiang Kai Shek kalah. Lari ke Chongqing. Dikejar. Lari lagi ke Chengdu. Dikejar. Terakhir lari ke Taipei --di pulau seberang laut. Tentara Mao Zedong tidak bisa lagi mengejarnya. Chiang Kai Shek mendirikan pemerintah Tiongkok di Taiwan. Tiongkok sendiri sudah dikuasai Mao.

Kini Tiongkok sudah merasa mampu mengejar Chiang Kai-shek, pun sampai ke Taiwan –meski tokoh itu sudah lama meninggal. Tiongkok ingin Taiwan kembali ke satu China –kalau perlu dengan cara kekerasan.

Peringatan 3 September di Taiwan tidak semeriah di Beijing. Kian tahun kian sederhana. Kian biasa-biasa saja. Cukup dengan meletakkan karangan bunga di Taman Makam Pahlawan. Atau memberikan penghargaan kepada para veteran.

Sebaliknya di Beijing. Peringatan kemenangan dirayakan dengan sangat heroik. Selalu membuat Jepang malu. Kekejamannya diungkap tiada henti.

Di Taipei, ketika investor Jepang membanjir masuk Taiwan peringatan ''mengalahkan'' Jepang itu dilangsungkan dengan nada menjaga perasaan Jepang.

Di Beijing luka akibat kekejaman Jepang dinyatakan sangat dalam. Pun setelah banyak investor Jepang masuk ke Tiongkok.

Hubungan Tiongkok-Jepang cukup erat tapi tidak pernah mesra. Tiongkok merasa Jepang sering dipakai Amerika untuk memata-matai Tiongkok dan memusuhinya.

Begitu banyak pimpinan negara menghadiri parade di Beijing. Jepang tidak mengirim utusan sama sekali. Jepang justru menyesalkan Tiongkok: terlalu jauh menafsirkan kemenangannya itu –yang bisa menimbulkan semangat anti Jepang di mana-mana.

Saya selalu mengagumi kegagahan parade militer. Di mana pun. Sayang, saya tidak bisa melihat parade itu secara live kemarin. Pada jam parade itu, saya lagi di Medan: di rumah orang yang pernah mendeklarasikan dirinya sebagai Rasulullah abad ini. Deklarasi itu dilakukan di Makkah –di dekat Kakbah– yang membuatnya masuk tahanan di sana. Terlalu lama saya berbincang dengan sang nabi –baru selesai setelah live parade berakhir.

Saat melihat video parede beberapa jam setelahnya saya pun terkenang masa nan silam: saya duduk di kursi VIP di situ melihat parade militer serupa di lokasi yang sama.

"Tong shi men, nimen xing ku le," sapa Xi Jinping dari atas mobil ke arah pasukan yang ditinjaunya.

"Wei ren min fu wu!" teriak setiap pasukan yang disapa dan dilewati Xi Jinping.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan