Kedelai Gajah

Catatan Dahlan Iskan-foto :disway.id-
"Pernah. Sering".
"Ayah Anda tidak marah?"
"Tidak".
"Apa reaksi ayah Anda?"
"Saya harus bisa membetulkannya lagi. Betulkan sendiri. Sampai betul".
Setelah jadi ayah, giliran Charles mengajarkan itu pada Adams, anaknya. Sebenarnya bukan mengajarkan tapi mewariskan ilmu. Lihat. Coba. Salah. Lihat lagi. Coba lagi. Seterusnya. Sampai bisa.
"Kami ini hanya panen setahun sekali. Harus hemat. Harus bisa lakukan sendiri semuanya," kata Charles.
Meski panennya hanya sekali setahun, hasilnya banyak. Produktivitas per hektarnya sampai 3,7 ton. Bandingkan dengan kedelai di Indonesia: satu hektare 0,6 ton.
Petani tidak pernah menggunakan hasil panen untuk benih. Setiap musim tanam mereka membeli benih. Perusahaan perbenihan pun hidup. Jadi bisnis tersendiri. Perusahaan benih itulah yang terus menemukan benih unggul.
Dari rumah Charles saya diajak ke rumah Nick. Di ''Desa Nick''. Di sebuah gerumbulan pohon di tengah sawah, sekitar 1 km dari ''Desa Charles''.
Dengan Nick saya diskusi soal penciptaan benih kedelai. Mulai dari laboratoriumnya sampai lahan pembenihannya.
Nick, yang baru punya anak lima bulan lalu, juga tidak sekolah benih. Ia dapat warisan ilmu dari ayahnya. Ilmu sang ayah didapat dari kakeknya.
Nick hanya kuliah dua tahun. Tidak betah. Pilih langsung terjun ke perusahaan. Sudah sejak kecil ia ikut ayahnya mengerjakan pembenihan.
Para petani di Amerika ternyata sudah lebih dulu menganggap ''bisa apa'' lebih penting daripada "lulusan mana".(Dahlan Iskan)