Ahli Tafsir

Catatan Dahlan Iskan Ahli Tafsir-foto :disway.id-
Itu seperti Islamic Center. Di sebelah masjid ada halaman seluas lapangan basket. Lalu ada gedung lain sebesar masjid. Di situlah kegiatan sosial muslim South Band berlangsung.
Selesai salat Jumat halaman penuh. Belum bertemu Prof Mun'im.
"Saya duduk di dingklik panjang di halaman," tulis saya ke Mun'im. "Kita makan dulu," kata saya setelah bersalaman dan cipika.
Saya pun menghubungi Maya yang Katolik. Tadi, setelah mengantar saya ke masjid, Maya memang saya minta ke restoran untuk makan siang. Dia pasti kelaparan.
Saya ikut mobil Prof Mun'im mencari Maya ke restoran itu: masakan Vietnam. Saya kalah cepat pergi ke kasir. Maya juga kalah. Setelah sebelumnya makan gratis di restoran Mayasari di Greenberg, hari ini gratis lagi ditraktir ahli sejarah Alquran di Notre-Dame.
"Mampir rumah dulu," ujar beliau seusai makan. Saya setuju. Maya pilih mendahului ke kampus: dia harus menyelesaikan banyak pekerjaan yang tertunda: jualan tempe merek Maya yang diproduksi di pabriknyi di Greenberg.
Pabrik tempe itu –disebut tempeh di Amerika, juga produksi keripik tempeh merek Maya. Sebagian perusuh Disway pernah mencicipinya: gratis.
Di sepanjang perjalanan ke rumah Prof Mun'in kami banyak ngobrol tentang Islam, perkembangan pembaharuan pemikiran Islam, tafsir Quran, dan kehadirannya di kampus Katolik di Amerika.
Prof Mun'im orang Madura. Sumenep. Dari pelosok desanya: Manding. Dari keluarga miskin. Setamat SD ia sekolah di madrasah Al Amin, Prenduan, Sumenep –pesantren ala Gontor Ponorogo.
Di pesantren itu Mun'im sudah bisa berbahasa Arab. Ia pun mencari beasiswa kuliah di luar negeri. Ia diterima di Islamabad, Pakistan. Di situlah tamat S-1 dan S-2. Bahasa pengantar perkuliahan: Arab.
Itulah bekalnya pertama ke luar negeri. Ia hanya minta tiket pesawat ke orang tua. Sekali jalan. Lalu sedikit uang: USD 50. Hanya 50 dolar.
Tiba di Islamabad ia mengandalkan hidup dari teman yang sudah lebih dulu di sana. Tiga hari dapat makan gratis. Seadanya. Masih dianggap tamu. Lalu pindah ke teman lainnya: tiga hari lagi. Muter dari satu teman ke yang lain. Sampai akhirnya bisa cari makan sendiri.
Mun'im mendapat beasiswa S-3 di Chicago. Ia menapaki jejak tokoh pembaharuan pemikiran Islam Prof Dr Nurcholish Madjid. Di kampus yang sama.
Sambil menunggu keberangkatan ke Amerika ia aktif di Paramadina Jakarta. Ia bangga bisa dekat dengan Cak Nur di situ. Ia kagumi Cak Nur sejak masih di Madura.