Peran Ayah dalam Pendidikan Kejujuran dan Maaf

Peran ayah dalam mendidik anak –termasuk memohon ampun bagi anaknya— dicontohkan melalui berbagai kisah para Nabi .-foto: net-
Orang yang menzhalimi wajib membayar kafarah kepada orang yang telah dizhaliminya serta memberitahukan kezhaliman apa yang telah diperbuat dengan kadarnya.
Lalu tentang kafarah, apakah kafarah mutlak (membayar denda seadanya) ini bermanfaat bagi pelakunya juga atau hanya korban?
Maka disini terdapat perselisihan pendapat, tetapi yang shahih adalah kafarah tersebut seharusnya tidak bermanfaat bagi pelaku. Sebab, ketika orang yang dzhalimi mengetahui kadar kezhaliman yang menimpanya, tentu hatinya tidak tenang dengan apa yang telah diterimanya.
Dalam hadis Shahih Bukhari, diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang pernah menzhalimi saudaranya, baik dalam hal kehormatan atau sesuatu yang lain, hendaklah ia meminta dihalalkan (dimaafkan) oleh saudaranya itu hari ini juga, sebelum datang hari di mana tidak ada lagi dinar dan dirham. Jika ia memiliki amal saleh, maka akan diambil darinya sesuai kadar kezhalimannya. Dan jika ia tidak memiliki amal baik, maka dosa orang yang dizhalimi itu akan dipindahkan kepadanya.” (HR. Bukhari, no. 2449).
Dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (jilid 4 hlm 311-312), Ibnu Katsir menyertakan perkataan seorang sahabat, yaitu Muharib bin Ditsar yang berbunyi:
“Ibnu Jarir berkata: Telah menceritakan kepadaku Abu As-Sa’ib, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, ia berkata: Aku mendengar Abdurrahman bin Ishaq, meriwayatkan dari Muharib bin Ditsar, ia berkata:
“Pamanku biasa datang ke masjid dan mendengar seseorang berdoa: ‘Ya Allah, Engkau telah menyeruku, maka aku pun memenuhi panggilan-Mu. Engkau telah memerintahku, maka aku pun menaati. Dan kini telah tiba waktu sahur, maka ampunilah aku.”
Lalu ia memperhatikan suara itu, ternyata berasal dari rumah Abdullah bin Mas’ud. Maka ia bertanya kepada Abdullah tentang hal itu, dan ia menjawab:
“Sesungguhnya Nabi Ya’qub menunda permintaan ampun untuk anak-anaknya hingga waktu sahur, sebagaimana ucapannya: ‘Aku akan memohonkan ampun kepada Tuhanku.” (QS: Yusuf: 98)
Ibnu Katsir juga menyertakan sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Nabi Ya’qub menunda doa hingga malam Jumat.”
Riwayat ini dinukil dari jalur Said bin Jubair dari Ibnu Abbas. Namun,menurut Adz-Dzahabi hadis ini berstatus munkar syadz. Hal ini menunjukkan bahwa waktu dipilih bukan secara sembarangan, tetapi karena kemuliaan malam Jumat sebagai waktu dikabulkannya doa.
Ibnu Katsir mengatakan bahwa sebagian mufasir menyebutkan bahwa beliau menunda doa itu agar waktu taubat mereka lebih lama, sehingga rasa penyesalan mereka semakin dalam dan mereka benar-benar ikhlas. Ada pula yang mengatakan bahwa penundaan ini dimaksudkan agar mereka semakin merasakan beratnya dosa yang mereka perbuat.
Kejujuran dan Maaf: Pelajaran dari Nabi Ya’qub
Hubungan antara ayah dan anak adalah fondasi penting dalam pendidikan akhlak, terutama dalam menanamkan nilai kejujuran. Dalam kisah Nabi Ya’qub dan anak-anaknya yang terekam dalam Surah Yusuf ayat 97–98, kita menemukan potret luar biasa tentang bagaimana kejujuran, penyesalan, dan pengampunan dibentuk dalam ikatan keluarga.