Syinqith: Pasir, Hafalan Quran dan Peradaban Ilmu

Di antara papan kayu dan pasir Gurun Sahara di Syinqith, keturunan dari Bani Hasyim yang juga cucu Rasulullah ﷺ ini terus menghafal dan mengajarkan Al-Quran, tradisi keilmuan yang dijaga turun-temurun.-foto: net-

Lama kelamaan, kota persinggahan ini menjelma menjadi pusat keilmuan yang mendalam—agama, hukum, bahkan sains Islam.

Namun waktu dan alam tak selalu bersahabat. Badai pasir yang bergerak dengan kecepatan 48 km per tahun telah menggerus banyak bagian kota.

Penduduk yang dahulu mencapai ribuan, kini tinggal ratusan. Banyak yang telah meninggalkan kota demi bertahan hidup.

Meski demikian, kota ini masih menyimpan kekayaan lain: ribuan manuskrip kuno yang sebagian berasal dari abad ke-12. Teks-teks Al-Qur’an, tafsir, hukum, filsafat, astronomi, dan kedokteran Islam tersimpan rapi di 13 perpustakaan keluarga.

Jumlah ini jauh menurun dari masa kejayaannya yang mencapai 30 perpustakaan.

“Ini bukan sekadar buku tua. Ini adalah jati diri kami,” tegas Sidi Ould Ahmed, penjaga perpustakaan generasi ketiga di keluarganya. Ia menolak upaya pemerintah yang ingin mengambil alih manuskrip untuk pelestarian.

“Kami lebih memilih merawatnya sendiri, meski penuh risiko,” tambahnya.

Meski kondisi bangunan banyak yang telah renta dan iklim gurun mempercepat kerusakan, para penjaga tetap teguh. Mereka membuka akses bagi siapa pun yang ingin belajar, tanpa memungut bayaran.

Meskipun hanya ada lima perpustakaan yang tersisa saat ini, isinya — lebih dari 1.300 manuskrip — dilindungi dengan ketat oleh para penjaga setempat.

“Memindahkan manuskrip-manuskrip ini,” seorang pustakawan menegaskan, “berarti memutus rantai tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad.”

Negeri Para Penghafal Al-Qur’an

Mauritania, negara terbesar ke-11 di Afrika, didominasi oleh gurun yang meliputi 90% wilayahnya. Namun, dari tanah gersang inilah lahir salah satu tradisi penghafalan Al-Qur’an terbaik di dunia.

Sejak abad ke-13, Syinqith/Shinkit dikenal sebagai kota para huffazh, tempat di mana anak-anak sudah mulai menghafal Al-Qur’an sejak usia dini.

“Jika ada anak berusia tujuh tahun belum hafal Al-Qur’an, orang tuanya merasa malu. Itu dianggap kegagalan pendidikan,” ujar Ustaz Muhammad Ould Baraka, seorang guru di madrasah lokal, saat ditemui di salah satu pondok penghafal Al-Qur’an di Syinqith.

Di kota ini, pendidikan agama dimulai sejak kandungan. Ibu-ibu yang tengah hamil tak hanya menjaga asupan gizi, namun juga memperdengarkan ayat-ayat suci sambil melakukan murajaah—mengulang hafalan mereka sepanjang hari.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan