RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Kinerja suatu organisasi baik langsung maupun tidak langsung didominasi oleh kualitas tenaga kerjanya atau sering disebut sumber daya manusia. Selain itu, sumber daya manusia menjadi penting dalam proses perubahan dan pembaharuan di dalam organisasi tersebut.
Tentunya harus melibatkan sumber daya manusia yang berperan aktif di dalam organisasi. Oleh karena itu, penting bagi suatu organisasi untuk menjaga kualitas dari sumber daya manusia yang bekerja bagi organisasi tersebut sehingga selalu dapat bekerja secara optimal.
Diantara berbagai aspek yang perlu untuk diperhatikan adalah kesehatan psikologis pegawai. Tidak hanya dari segi lahiriyah, kondisi psikologi tenaga kerja juga memiliki pengaruh dalam hal kinerja individu yang secara kolektif juga berdampak pada kinerja organisasi.
Ada hal yang mempengaruhi kondisi psikologi walaupun bukan termasuk dari masalah gangguan jiwa namun dapat berpengaruh negatif di dalam memicu rasa cemas, stres, dan depresi pada seseorang. Fenomena psikologis yang dimaksud adalah impostor syndrome.
Baca Juga: Pengangkatan Honorer jadi PPPK Ditarget Tuntas 2027, Waduh
Istilah “Impostor Syndrome” ini pada tahun 1978 untuk pertama kali diperkenalkan oleh dua psikolog yakni Pauline Rose Clance dan Suzanne Imes. Di awal penelitian mereka, diketahui bahwa sindrom ini banyak dijumpai pada Wanita yang cerdas dengan capaian prestasi tinggi.
Lalu, penelitian ini terus berlanjut dari tahun ke tahun dan menunjukkan bahwa impostor syndrom tidak hanya terjadi pada wanita, tetapi juga ditemukan pada pria.
Individu yang mengalami kondisi impostor syndrome merasa bahwa kesuksesan atau pencapaian yang mereka raih sebetulnya tidak layak atau tidak pantas dengan kemampuan atau nilai mereka. Individu yang mengalami kondisi psikologis ini cenderung meragukan kemampuan mereka sendiri dan juga merasa bahwa orang lain akan menilai bahwa mereka sebenarnya tidak kompeten.
Menurut Psikolog Klinis UGM, Tri Hayuning Tyas, S.Psi., M.A., pengertian Impostor Syndrome atau impostor phenomenon adalah fenomena psikologis dimana seseorang tidak mampu menerima dan menginternalisasi keberhasilan yang ia raih.
Dengan kata lain, orang yang mengalami impostor syndrome selalu mempertanyakan dirinya sendiri atas pencapaian atau prestasi yang telah diraih. Ia merasa kesuksesan yang berhasil diraih merupakan bentuk dari keberuntungan atau kebetulan semata, bukan karena kemampuan intelektual diri.
Setiap individu dapat menglami Impostor syndrome. Tidak terkecuali bagi kalangan pegawai pada organisasi atau perusahaan. Hal ini bisa terjadi disebabkan rendahnya kepercayaan diri sehingga meragukan kemampuan diri sendiri walaupun sebenarnya individu tersebut pernah memiliki prestasi yang nyata.
Kemudian sikap suka membanding-bandingkan kinerja sendiri dengan kinerja rekan kerja yang lain sehingga merasa tidak sebanding atau merasa bahwa rekan kerja lainnya lebih punya kompetensi.
Dan kecenderungan ketiga yang bisa terjadi pada impostor syndrome adalah ketakutan mengalami kegagalan sehingga individu tersebut tidak berani mengambil risiko atau mencoba hal-hal baru.
Dan kecemasan-kecemasan yang telah disebutkan tidak terbatas hanya pada tiga karakteristik tadi namun hanya Sebagian dari beberapa karakteristik impostor syndrome.
Dari uraian tulisan diatas dapatlah disimpulkan bahwa impostor syndrome dapat berbahaya bagi organisasi bila para karyawannya mengalaini fenomena psikologis ini . Dampak negatif pada organisasi dapat menyebabkan di antaranya:
1. Penurunan produktivitas dan kreativitas yang diakibatkan adanya ketakutan menghadapi tantangan baru dan tanggung jawab tambahan sehingga bisa menyebabkan penurunan produktivitas yang akan juga berdampak negatif terhadap kinerja organisasi.
2. Peningkatan turnover (employee turnover) yang diakibatkan adanya perasaan rendah diri karena merasa tidak pantas bekerja pada organisasi tersebut. Peningkatan turnover ini akan menimbulkan biaya rekrutmen dan pelatihan pegawai baru.
3. Peningkatan konflik dan kurangnya kolaborasi diakibatkan adanya individu yang mengalami imposter syndrome mungkin akan merasa terancam oleh rekan kerja lain yang lebih sukses atau lebih kompeten sehingga berpotensi menyebabkan konflik baik secara internal yakni dalam diri sendiri maupun eksternal yakni dengan rekan kerja, atasan atau stakeholder.
Dari pengaruh negatif tersebut, dapat diketahui bahwa impostor syndrome yang dialami oleh pegawai atau karyawan dalam suatu organisasi, sedikit atau banyak dapat berpotensi menyebabkan produktivitas kerja yang tidak maksimal sehingga dapat menghambat dalam mencapai kinerja organisasi terbaik.
Apalagi di tengah arus globalisasi sekarang yang menuntut setiap organisasi bisnis di manapun berada untuk memiliki kreativitas tinggi, terus menerus melakukan inovasi, dan meningkatkan fleksibilitas.
Sehingga organisasi perlu menaruh perhatian yang besar terhadap kondisi psikologi pegawainya, salah satunya impostor syndrome dengan tujuan untuk memastikan bahwa setiap masalah yang dihadapi oleh pegawai dalam upaya berkontribusi kepada organisasi tidak terhambat.
Lalu bagaimana cara mengatasi masalah yang dihadapi oleh impostor syndrome. Ada beberapa saran yangdapat dikuti yakni: