Delapan, perbedaan ulama tentang hukum mendahulukan puasa Syawal sebelum meng-qadha’ hutang puasa Ramadhan:
Pendapat Pertama:
Tidak dianjurkan, bahkan dianggap pahala puasa Syawal tidak sampai. Mereka berdalil dengan hadist Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan enam hari pada Syawal, maka seakan berpuasa seumur hidup.” (HR. Muslim)
Hadist di atas menjelaskan bahwa untuk mendapatkan pahala puasa Syawal harus terpenuhi tiga syarat;
Pertama: Harus menyelesaikan puasa bulan Ramadhan secara penuh. Orang yang masih punya hutang bulan Ramadhan dan belum meng-qada’nya dianggap belum menyelesaikan puasa Ramadhan nya secara penuh, maka tidak akan mendapatkan pahala seperti yang tersebut di dalam hadist.
Kedua: Harus dilaksanakan pada bulan Syawal.
Ketiga: Puasanya harus enam hari.
Berkata al-Haitami di dalam kitab Tuhfatu al-Muhtaj (3/457): “Karena dia harus menyempurnakan puasa Ramadhan (secara keseluruhan), jika tidak maka dianggap tidak mendapatkan keutamaan puasa Syawal, walaupun dia berbukanya pada bulan Ramadhan karena udzur.”
Pendapat Kedua:
Dibolehkan puasa enam hari bulan Syawal, walaupun belum meng-qadha’ hutang puasa bulan Ramadhan dan pahalanya tetap sampai. Mereka berdalil sebagai berikut:
Kewajiban mengqadha’ hutang puasa Ramadhan tidak harus dilakukan pada bulan Syawal, tetapi boleh diundur pada bulan-bulan berikutnya sebagaimana di dalam firman Allah,
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (QS: Al-Baqarah: 184)
Ayat di atas tidak membatasi waktu qadha’ puasa Ramadhan, boleh pada bulan Syawal, juga boleh pada bulan-bulan lainnya. Juga berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
حديث عائشة رضي الله عنها تقول: كان يكون عليَّ الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان. الشغل من رسول الله صلى الله عليه وسلم، أو برسول الله صلى الله عليه وسلم.
Aisyah radhiyallahu ‘ anha berkata: ” Saya pernah punya hutang puasa Ramadhan dan saya tidak bisa meng-qadha’ nya kecuali pada bulan Sya’ban karena disibukkan mengurusi Rasulullah ﷺ.” (HR. Muslim)
Hadits di atas menunjukkan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha meng-qadha’ puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban. Ini menunjukkan ada kemungkinan beliau puasa enam hari di bulan Syawal sebelum meng-qadha’ puasa Ramadhan.
Orang yang telah menyelesaikan puasa Ramadhan walaupun ada beberapa hari yang ditinggalkannya karena udzur dianggap telah berpuasa Ramadhan secara maknawi.
Mewajibkan untuk meng-qadha’ puasa Ramadhan terlebih dahulu sebelum melaksanakan puasa Syawal akan sangat memberatkan, terutama bagi kaum wanita yang haidnya sampai delapan hari atau lebih, khususnya jika ada udzur lainnya seperti sakit dan safar, bahkan kadang hutang puasa Ramadhan bisa sampai 15 hari lebih. Jika digabung dengan 6 hari puasa Syawal, maka menjadi 21 hari.
Pendapat yang membolehkan untuk mengundur qadha’ puasa Ramadhan hingga satu tahun, dan membolehkan mendahulukan puasa Syawal akan meringankan beban mereka. Allah berfirman,
ۡ یُرِیدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡیُسۡرَ وَلَا یُرِیدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Allah menginginkan kalian mendapatkan kemudahan dan tidak menginginkan kalian mendapatkan kesusahan.” (QS: Al-Baqarah: 185)
Berkata al-Bujairmi dalam Hasyiayah nya atas al-Khatib (2/352) dengan menukil perkataan ulama: “Mengikuti dengan puasa Syawal secara (taqdiriyah), yaitu menyempurnakan (puasa Ramadhan) sesudahnya, tetapi dianggap terlaksana sebelumnya. Atau mengikutinya dengan puasa Syawal secara (Mutaakhirah), yaitu dilaksanakan puasa Syawal sesudah puasa Ramadhan sebagaimana pelaksanaan shalat nafilah sesudah shalat fardhu.”. (*)