RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - SEBUAH studi terbaru dari Italia menunjukkan bahwa penggunaan media sosial secara berlebihan atau problematic social media use (PSMU) berhubungan erat dengan rasa kesepian dan kecemasan terhadap kematian.
Riset ini juga menemukan bahwa kedua faktor psikologis tersebut menjadi jembatan antara attachment anxiety (kecemasan terhadap keterikatan) dan kecenderungan seseorang mengalami kecanduan media sosial.
Penelitian berjudul “Attachment anxiety, loneliness, and death anxiety in problematic social media use” ini diterbitkan dalam jurnal ilmiah Death Studies dan dipimpin oleh Dr. Alessandro Musetti, dosen psikologi di Universitas Parma, Italia.
Menurut Musetti, individu dengan attachment anxiety cenderung merasa takut ditinggalkan, membutuhkan kedekatan berlebih, dan sangat sensitif terhadap perubahan perhatian dari orang lain.
“Mereka yang memiliki attachment anxiety sering mencari jaminan emosional dan kehadiran sosial secara terus-menerus. Media sosial memberi mereka ruang virtual untuk merasa terhubung dan diakui,” kata Musetti dalam pernyataannya dikutip dari PsyPost, Sabtu (1/11/2025).
Penelitian ini melibatkan 799 orang dewasa di Italia dengan rata-rata usia 32 tahun. Sekitar 52 persen responden adalah perempuan, 54 persen lulusan SMA, dan 31 persen bekerja penuh waktu.
Para peserta diminta mengisi sejumlah kuesioner, antara lain Relationship Questionnaire (untuk mengukur attachment anxiety), UCLA–Loneliness Scale (untuk kesepian), Death Anxiety Scale (untuk kecemasan akan kematian), dan Bergen Social Media Addiction Scale (untuk kecanduan media sosial).
Hasil analisis menunjukkan bahwa attachment anxiety berkorelasi positif dengan kesepian, kecemasan terhadap kematian, dan kecenderungan menggunakan media sosial secara berlebihan.
Artinya, semakin tinggi tingkat kecemasan seseorang terhadap keterikatan, semakin besar pula peluangnya mengalami kesepian dan rasa takut akan kematian — yang kemudian mendorong mereka mencari pelarian di dunia maya.
Menariknya, model statistik yang dikembangkan para peneliti mengungkap rantai sebab-akibat yang lebih kompleks. Mereka menemukan bahwa bentuk kesepian tertentu — terutama relational disconnectedness (keterputusan hubungan intim) — memiliki peran penting.
Individu yang merasa terputus secara emosional dari hubungan dekat cenderung mengalami kecemasan akan kematian yang lebih tinggi, dan kondisi ini akhirnya berujung pada perilaku penggunaan media sosial yang berlebihan.
“Rasa kesepian yang bersumber dari keterputusan emosional memicu kecemasan eksistensial. Media sosial kemudian menjadi sarana untuk mencari ‘keabadian simbolik’, yaitu keinginan agar diri mereka tetap eksis dan dikenang dalam ruang digital,” jelas Musetti.
Penelitian ini didasari oleh Terror Management Theory, yang menyatakan bahwa manusia berusaha mengatasi ketakutan akan kematian dengan mencari makna dan identitas yang bisa bertahan setelah mereka tiada.
Dalam konteks ini, unggahan, foto, atau profil di media sosial berperan sebagai bentuk simbolis dari keabadian.
Temuan tersebut, menurut Musetti, menunjukkan pentingnya memahami faktor psikologis di balik kecanduan media sosial. “Temuan ini menyoroti betapa kompleksnya proses psikologis dalam PSMU. Intervensi psikoterapis sebaiknya tidak hanya berfokus pada perilaku online, tetapi juga pada rasa keterikatan yang tidak aman, kesepian emosional, dan kecemasan eksistensial,” ujarnya.