"Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa lapangan pekerjaan tidak ada, saya pikir harus kita menjadi introspeksi kolektif gitu ya dan jangan kufur nikmat," kata Bahlil kepada wartawan di Jakarta (03/06).
Bahlil meminta masyarakat untuk lebih giat "meningkatkan kualitas" dan "mulai menyesuaikan diri" dengan kebutuhan industri.
"Kampus juga segera menyesuaikan. Jangan kampus melahirkan output lulusan kampus yang tidak adaptif dengan tuntutan lapangan pekerjaan."
Namun menurut Bhima, ada masalah struktural di balik situasi ketenagakerjaan Indonesia.
"Strukturalnya adalah terjadi deindustrialisasi secara prematur dan ketergantungan pada komoditas ekstraktif."
Misalnya, menurut Bhima, ketika harga batubara dan nikel jatuh seperti sekarang ini, dampaknya memukul banyak industri penyangga.
Tak hanya itu, ia juga mengatakan ada sejumlah alasan mengapa investor kesulitan bertahan di Indonesia, yang pada akhirnya berdampak pada lapangan kerja.
"Ada juga premanisme, logistic cost kita yang tinggi, infrastruktur yang tidak men-support industri, daya saing yang rendah, dan flip-flop kebijakan pemerintah," ujarnya.
"Indonesia ini enggak bisa bikin perencanaan lima tahun ke depan, karena kebijakannya berubah terus, sementara industri perlu kepastian jangka panjang, ini kan masalah struktural tuh," kata Bhima sambil menambahkan pentingnya kepastian ini bagi iklim investasi.
Bhima tidak menampik ada faktor lain seperti perang dagang global yang juga mempengaruhi situasi ekonomi Indonesia, namun hal ini juga dialami oleh negara-negara lainnya.
Menurutnya yang paling penting adalah menyelesaikan masalah struktural untuk bisa menjaga daya saing, dengan melakukan setidaknya ada dua hal.
Pertama, di saat iklim usaha di sektor swasta sedang lesu, Bhima mengatakan pemerintah perlu memberikan stimulus yang lebih besar, serta mengambil alih motor ekonomi melalui belanja pemerintah.
"Jadi belanja pemerintahnya jangan ikut-ikutan efisiensi."
Kalau pemerintah mau melakukan efisiensi, menurut Bhima yang perlu dikurangi adalah "jumlah kementeriannya, bukan serapan belanjanya."
"Itu dua hal yang berbeda, seperti yang dilakukan Vietnam, yang memangkas jumlah kementeriannya, tidak gemuk seperti Indonesia."
Kedua, menurutnya perlu ada "meritokrasi" di setiap lini, dimulai dari jajaran kementerian dan orang-orang yang memegang posisi di berbagai badan yang strategis.