Khutbah Jumat: Menyadari Batasan, Meraih Keikhlasan Idul Adha

Kamis 05 Jun 2025 - 20:58 WIB

Pelajaran pertama, jangan pernah risau tentang masa depan. Masa depan adalah rahasia Allah. Hanya Dialah yang Maha Mengetahui masa depan setiap hamba-Nya. Imam Malik, kita dan siapa saja tidak ada yang bisa meski sebatas menerka-nerka apalagi memastikan.

Seperti halnya Nabi Ibrahim AS yang tidak mengetahui seperti apa masa depan istri dan Ismail yang masih bayi, yang beliau tinggalkan di tanah gersang bernama Makkah.

Namun, Nabi Ibrahim tetap menunjukkan sikap taat kepada perintah Allah. Dari sini kita bisa belajar tentang sikap tawakal. Kita belajar tentang berserah diri kepada Allah, khususnya tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang.

Allah mengingatkan dalam QS. Al-Kahfi ayat 23-24 :

وَلَا تَقُوْلَنَّ لِشَا۟يْءٍ اِنِّيْ فَاعِلٌ ذٰلِكَ غَدًاۙ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ ۖوَاذْكُرْ رَّبَّكَ اِذَا نَسِيْتَ وَقُلْ عَسٰٓى اَنْ يَّهْدِيَنِ رَبِّيْ لِاَقْرَبَ مِنْ هٰذَا رَشَدًا

“Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi, kecuali (dengan mengatakan), “Insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini.”

Rasulullah ﷺ bersabda :

 لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Sekiranya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, sungguh kalian akan diberi rezeki, sebagaimana seekor burung diberi rezeki; di mana ia pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad)

Pelajaran kedua, mengakui keterbatasan diri kita. Kita harus sadar bahwa sebagai manusia kita punya keterbatasan.

Kita ini makhluk yang lemah, tidak memiliki apa-apa. Semua yang ada pada diri kita saat ini adalah anugerah dari Allah SWT.

Kesadaran tentang keterbatasan manusia bisa kita petik pelajarannya dari Nabi Ismail muda. Beliau tidak mengedepankan ego dan logika, ketika Allah memerintahkan sang ayah untuk mengorbankan dirinya.

Sikap yang ditunjukkan Ismail muda merupakan gambaran sempurna seorang hamba yang mengakui kelemahannya di hadapan Sang Maha Pencipta.

Dari sinilah, kita belajar bahwa mengakui keterbatasan diri membawa kita kepada sikap taat kepada Allah dalam segala keadaan.

Bersungguh-sungguh dalam mengakui bahwa kita hamba yang lemah merupakan wujud dari pengamalan ayat surah Al-Fatihah, “Iyyaaka na‘budu wa iyyaaka nasta‘iin” (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan).

Dengan mengakui bahwa kita makhluk yang lemah di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, akan mendorong kita untuk tak henti-hentinya memohon pertolongan Allah serta meyakini bahwa tak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya.

Kategori :