JAKARTA - Sejumlah tokoh dan aktivis menyampaikan tak ingin kebobrokan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diwariskan atau dilanjutkan.
Hal itu disampaikan mereka dalam acara Refleksi Akhir Tahun dan Mimbar Bebas yang digelar oleh Aliansi Mahasiswa UIN Jakarta di halaman Senat Mahasiswa UIN Jakarta, Kamis (28/12).
Aktivis yang juga ekonom, Faisal Basri menyampaikan orasi di depan ratusan mahasiswa yang hadir. Selain Faisal Basri, tokoh perempuan yang ahli tata negara Bivitri Susanti juga hadir bersama alumi UIN Jakarta sekaligus pengamat politik Ray Rangkuti, aktivis perempuan Nong Darul Mahmada.
Aktivis dan direktur eksekutif Internasional NGO Forum on Indonesia Development (INFID) Iwan Misthohizzaman, juga tampak hadir bersama mahasiswa.
Sejumlah tokoh nasional tersebut menyampaikan keprihatinan dan kekecawaannya terhadap perjalanan demokrasi di Indonesia yang disebut sedang mengalami kemunduran serius. Titik kritis demokrasi di Indonesia bermula dari upaya intervensi lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi (MK) oleh kekuasaan eksekutif demi kepentingan politik memajukan anak presiden, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto.
Faisal Basri menilai Presiden Jokowi sudah melampaui batas dan membahayakan negara karena praktik nepotisme dengan mencalonkan anaknya menjadi calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto. Faisal menganggap partai pengusung Prabowo-Gibran berperan penting dalam menghancurkan demokrasi di Indonesia.
"Kita harus meyakinkan rakyat bahwa kita ini berada di gerbang bencana. Mari kita pastikan kegagalan dan kebobrokan pemerintahan Jokowi itu tidak boleh diwariskan untuk dilanjutkan," kata Faisal.
Sementara itu, Iwan Misthohizzaman menyoroti pentingnya konsolidasi kembali gerakan untuk mengawal demokrasi agar krisis tidak berkelanjutan. Lemahnya gerakan sipil untuk menjadi penyeimbang kekuasaan dapat mempercepat kematian demokrasi. Menurut dia, secara historis gerakan sipil di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam melawan dominasi kekuasaan. Iwan menyebut mahasiswa adalah motor utama dalam gerakan sipil itu.
"Kita harus mengambil sikap untuk menolak semua hal yang membuat kemunduran untuk negeri ini, karena sejarah hanya mencatat tokoh, bukan penonton atau pengekor. Maka buatlah nama kalian menjadi sejarah yang baik di negara ini," kata Iwan.
Hal senada disampaikan Ray Rangkuti yang melihat netralitas pemilu sudah tidak dapat diharapkan lagi karena presiden telah terlampau jauh menghegemoni hampir semua kekuatan politik.
Menurut Ray, kondisi ini akan semakin parah ketika pasangan calon yang didukung oleh presiden memenangkan pemilu. Hal ini akan menyengsarakan rakyat.
"Tidak ada nepotisme yang dibuat untuk kepentingan negara, nepotisme hanya bertujuan untuk memakmurkan keluarganya, dan dinasti politik itu tidak akan mensejahterakan rakyat tapi justru akan menyengsarakan rakyat," ujarnya.
Sementara itu, Bivitri Susanti mempersoalkan masa depan supremasi hukum di Indonesia. Menurutnya, penguasa yang abai akan etika akan membuat kesalahan besar dalam penegakan hukum.
"Jika hukumnya tidak adil apakah masih bisa disebut ada supremasi hukum," ujarnya. (jp)
Kategori :