Hubungan Saudi – AS, Pengaruhnya bagi Palestina

Kamis 07 Nov 2024 - 22:10 WIB

RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - SEBAGAI negara dengan pengaruh besar di dunia Arab dan Islam, Arab Saudi sering dipandang sebagai kekuatan utama yang diharapkan dapat memainkan peran penting dalam mendukung kemerdekaan Palestina.

Dengan posisinya yang strategis dan kekayaan ekonominya, Arab Saudi memiliki potensi besar untuk memberikan dukungan nyata, baik secara finansial maupun politik.

Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Hingga kini, sikap Saudi terhadap Palestina dinilai cenderung apatis. Meski beberapa kali membantu, ia tak lebih dari bantuan simbolis yang tidak banyak memberikan dampak.

Bahkan ketika separuh wilayah Gaza hancur dalam setahun terakhir, Saudi belum juga mengambil tindakan tegas terhadap ‘Israel’.

Baca Juga: Donald Trump Menang, Israel Bakal Makin Brutal di Timur Tengah

Apakah semua itu ada hubungannya dengan kemesraan yang ia jalin dengan AS? Apa yang dilirik AS dari Arab Saudi?

Setelah AS secara resmi mengakui kedaulatan Arab Saudi sebagai sebuah negara pada 1931, keduanya segera menjalin hubungan diplomatik penuh lewat pertukaran surat kepercayaan dan pengangkatan duta besar AS pertama untuk Arab Saudi pada tahun 1940.

Hingga saat ini, setelah lebih dari delapan dekade, kedua negara telah bekerja sama dalam berbagai isu politik, keamanan, kontraterorisme, ekonomi, dan energi.

Setidaknya tiga faktor, yang membuat AS tak kuasa menahan diri untuk ‘menjalin kemesraan’ dengan Saudi, sebagaimana dinyatakan Departemen Luar Negeri AS:

Pertama, peran unik Saudi di dunia Arab dan Islam.

Maknanya, posisi Arab Saudi sebagai penjaga Makkah dan Madinah, dua kota yang paling disucikan oleh umat Islam, memberi Arab Saudi pengaruh besar dalam dunia Islam dan membuatnya dianggap sebagai pemimpin utama bagi negara-negara mayoritas Muslim, terutama dari kalangan Sunni.

Dalam hal ini, bermitra dengan Arab Saudi memberi peluang bagi AS untuk melakukan kontrol dan hegemoni di dunia Arab maupun Islam, meski tidak secara langsung.

Kedua, kepemilikannya cadangan minyak terbesar kedua di dunia

Berdasarkan data OPEC tahun 2023, cadangan minyak Arab Saudi mencapai 267,23 miliar barel, atau sekitar 21,5% dari total cadangan minyak dunia.

Posisi ini menempatkan Saudi di urutan kedua setelah Venezuela, yang memiliki cadangan sebesar 303,01 miliar barel, atau sekitar 24,4% dari total cadangan global.

Hal ini sangat penting, utamanya untuk menjamin pasokan energi bagi operasi militer AS di luar negeri, setidaknya yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir di Timur Tengah, seperti Perang Teluk (1990-1991), Perang Irak (2003-2011), dan Perang Afghanistan (2001-2021).

Berdasarkan data dari EIA, selama periode perang-perang tersebut (1990-2021), AS mengimpor minyak dari Saudi dalam kisaran 207.000 hingga 2.244.000 barel per hari, dengan rata-rata sekitar 1.500.000 barel per hari antara 1990-2015. Jumlah ini sedikit menurun pada 2015-2021, dengan rata-rata sekitar 800.000 barel per hari.

Ketiga, lokasinya yang strategis

Terletak di titik persimpangan antara Eropa, Asia, dan Afrika, Arab Saudi berfungsi sebagai jembatan alami yang menghubungkan jalur perdagangan internasional penting antara ketiga benua.

Kondisi yang menguntungkan ini memungkinkan perusahaan-perusahaan AS untuk berinvestasi dan beroperasi di pasar-pasar yang sedang berkembang di wilayah tersebut.

Ketergantungan Saudi terhadap AS: Jaminan Keamanan dan Perlindungan Militer

Yang paling dibutuhkan Riyadh dari kemitraannya dengan Washington adalah jaminan keamanan dan perlindungan militer. Mengingat, keberadaannya di Timur Tengah yang merupakan kawasan paling rawan konflik, stabilitas dan keamanan menjadi prioritas utama demi melindungi kepentingan strategisnya di wilayah tersebut.

Terlebih, ada dua entitas yang dianggap menjadi ancaman nyata bagi stabilitas internal dan regional. Pertama, ‘imperium Syiah’ Iran beserta proksi-proksinya di Libanon (Hizbullah), Yaman (Houthi), Suriah, dan Iraq.

Kedua, kelompok teror yang selama ini dianggap bertanggung jawab atas beragam kekacauan di kawasan, seperti konflik di Suriah, Libia, Yaman, dan Iraq.

Dengan demikian, kemitraannya dengan AS sebagai kekuatan global diharapkan mampu menjamin stabilitas dan keamanan di kawasan, utamanya untuk melindungi kebijakan ambisiusnya dalam proyek “Visi 2030”.

Hingga hari ini, AS tetap menjadi pemasok utama kebutuhan pertahanan Arab Saudi, yang mencakup sistem pertahanan udara, alutsista, amunisi, sistem intelijen, pelatihan militer, serta logistik dan operasional militer.

Lembaga pertahanan Saudi tercatat sebagai pelanggan terbesar dalam program Foreign Military Sales (FMS) AS, dengan nilai kontrak lebih dari $140 miliar, sebagaimana diungkapkan oleh Departemen Luar Negeri AS.

Perang Melawan Teror dan Posisi Hamas di Palestina

Pasca serangan 11 September 2001, Arab Saudi dan Amerika Serikat saling bergantung satu sama lain dalam hal kontraterorisme. Kedua negara sama-sama merasa terancam oleh kemunculan gerakan-gerakan jihad, yang mulanya dimotori oleh Al-Qaeda.

Dua tahun setelah runtuhnya menara kembar WTC, giliran Saudi yang menjadi target serangan kelompok tersebut, kali ini dalam bentuk pemboman yang menargetkan pekerja ekspatriat Barat di Riyadh pada Mei dan November 2003, yang menewaskan 50 orang.

Setelah kejadian itu, AS dan Saudi meningkatkan kerja sama intens dalam kampanye “War on Terror” buatan AS. Keduanya berbagi informasi intelijen, bekerja sama dalam pelatihan dan operasi militer, serta melakukan upaya pencegahan pendanaan terorisme, dan banyak lagi.

Menurut Departemen Luar Negeri AS, “Arab Saudi terus menjaga hubungan kontraterorisme yang kuat dengan Amerika Serikat dan mendukung peningkatan kerja sama bilateral untuk memastikan keselamatan warga negara AS dan Saudi di wilayah Saudi dan di luar negeri.”

Mengenai Hamas, yang menjadi faksi perlawanan paling berpengaruh di Palestina, khususnya di Jalur Gaza, statusnya telah ditetapkan sebagai “Organisasi Teroris Asing” oleh Washington sejak Oktober 1997. Pertanyaannya, apakah Saudi mengikuti langkah AS dalam hal ini?

Meski tidak pernah secara resmi menyebut Hamas sebagai “teroris”, hanya saja, Saudi telah menetapkan Ikhwanul Muslimin—gerakan yang menjadi embrio dan dasar ideologi Hamas di Palestina—sebagai teroris sejak 2014.

Kondisi inikah yang menjadikan Saudi dipandang ‘alergi’ terhadap perjuangan melawan penjajah ‘Israel’ di Palestina.

Di sisi lain, upaya Saudi membantu Palestina, yang lebih banyak diarahkan kepada kelompok PLO dan Fattah yang justru lebih dekat dengan AS dan penjajah ‘Israel’, dipandang banyak pihak sebagai ketidaksungguhan Saudi membantu saudaranya yang sedang tertindas.

Persekutuan AS-’Israel’ hingga Normalisasi

Sikap lunak Arab Saudi terhadap ‘Israel’ selama ini, menjadi konsekuensi logis dari hubungan mesranya dengan AS. Perlu dicatat, bahwa ‘Israel’ adalah sekutu utama AS yang selalu menikmati hak-hak istimewa dari Washington.

Dalam pidatonya pada 19 Mei 2011, Barack Obama mengatakan, “Mengenai ‘Israel’, persahabatan kita berakar kuat dalam sejarah dan nilai-nilai bersama. Komitmen kita terhadap keamanan ‘Israel’ tidak tergoyahkan. Dan kita akan menentang upaya untuk mengkritiknya di forum internasional.”

Kondisi itu diperparah dengan langkah yang diambil oleh Uni Emirat Arab dan Bahrain, dua negara teluk yang menyepakati normalisasi dengan ‘Israel’ yang dimediasi AS lewat “Abraham Accords” pada Agustus dan September 2020, yang disusul oleh Sudan dan Maroko beberapa bulan setelahnya.

Baru-baru ini, Menteri Luar Negeri (Menlu) Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, menegaskan posisi Riyadh, bahwa tidak akan ada normalisasi hubungan dengan Israel tanpa adanya negara Palestina.

“Tingkat kehancuran di Gaza dan direndahkannya nyawa rakyat Palestina akan menciptakan siklus yang bertentangan dengan kepentingan semua orang,” ujar Pangeran Faisal dalam wawancara dengan Inisiatif Investasi Masa Depan (FII) di Riyadh, seperti dilansir Al Arabiya, Jumat (1/11/2024)

Meski penjelasan ini agak melegakan, namun sikap lebih riil masih ditunggu, bukan sekedar basa-basi. Realitanya, antara ‘Israel’ dan Saudi—tak terkecuali AS—memiliki kepentingan yang sama dalam isu regional, yakni menghalau ancaman dari Iran dan proksi-proksinya, serta ancaman kelompok jihad yang bercita-cita menegakkan politik Islam dan mengusir pengaruh Zionis dan Barat dari dunia Islam.

Kesimpulan

Fakta bahwa ‘Israel’ adalah sekutu utama AS di Timur Tengah, tentu menjadikan Saudi saat ini masih belum bisa bersikap tegas terhadap ‘Israel’ atas segala kejahatan yang dilakukannya di Palestina, mengingat Saudi sedang terlibat kemitraan erat dengan AS selama lebih dari 80 tahun ini.

Belum lagi, antara AS, ‘Israel’, maupun Arab Saudi, sama-sama berbagi kepentingan di Timur Tengah, baik untuk melawan pengaruh Iran yang telah menguat dengan proyek nuklirnya, maupun ancaman gerakan jihad yang dipandang sebagai aktivitas teror.

Hal itu menjadi kompleks dengan penetapan status Hamas sebagai teroris, baik oleh AS maupun ‘Israel’, serta sikap antipati Saudi terhadap Ikhwanul Muslimin, gerakan politik yang menjadi dasar ideologis bagi perlawanan Hamas di Palestina.

Alhasil, mengharapkan Saudi untuk membantu perjuangan Palestina dalam merebut kemerdekaannya, dianggap hanya angan-angan kosong belaka, selama Saudi masih bertahan di posisinya tersebut. (net)

Kategori :