Madinah Kafe
--
Kami terus berjalan menjauh dari masjid. Dua blok lagi ada hiasan lagi di tengah jalan. Juga sangat menggoda untuk jadi latar belakang foto. Masih dengan masjid Nabawi lebih jauh di belakang sana. Saya tidak mau menyebut hiasan apa itu: lihat saja sendiri di Madinah.
Jalan lebar ini bersih sekali. Kanan kirinya bangunan baru yang modern. Tertata. Cekli. Lalu di trotoarnya ada tempat sampah khas Madinah. Ikonik. Ada juga kran-kran air untuk minum orang yang lagi kya-kya di situ. Kran itu dibingkai dengan lengkung Islami-Arabi.
Saya lihat banyak juga yang mengisi botol minuman dari kran itu.
Toko-toko sederhana yang dulu di kiri kanan jalan ternyata diakomodasikan di lantai pertama bangunan-bangunan modern itu. Tentu dengan penataan isi toko yang lebih rapi. Saya beli boiler pemanas air minum. Harga 30 riyal. Made in China. Saya harus selalu minum air hangat di pagi bangun tidur.
Dulu, berjalan sejauh ini, sudah berada di luar kompleks masjid. Sudah tidak ada lagi bangunan-bangunan tinggi. Yang terlihat sudah gunung-gunung batu. Di jarak dekat. Di jarak jauh. Sepanjang mata memandang.
Mana Kafe Kaifa-nya?
"Masih di sana. Sedikit lagi," jawab Mas Bajuri.
Madinah-baru begitu maju. Tiap kali saya ke Madinah selalu ada yang berubah. Yang terbaru ya Kafe Kaifa itu.
Ketika menulis ini saya lagi dalam perjalanan maesong –melayat ibunya direktur keuangan Harian Disway. Usianyi 104 tahun.
Maka tulisan terpaksa berakhir di sini dulu. Itu mereka, keluarga almarhumah, sudah menanti di dekat jenazah. (Dahlan Iskan)