Pertemuan Jokowi dengan Surya Paloh Dinilai Pengkhianatan di Internal Koalisi Perubahan

Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh.-Foto: net-

RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh memunculkan spekulasi. Terlebih manuver Surya Paloh itu tak diketahui Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan fungsionaris PKS yang tergabung di dalam Koalisi Perubahan.
 
Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs Ahmad Khoirul Umam menilai wajar internal Koalisi Perubahan mulai gusar, karena khawatir merasa akan dikhianati.

Ia menduga, mulai muncul pertanyaan-pertanyaan di internal PKS dan PKB tentang komitmen spirit perubahan dalam diri Surya Paloh dan Partai NasDem.
 
"Selain itu, manuver Paloh ini seolah membenarkan penyataan Capres Nomor Urut 1 Anies Baswedan dalam debat Capres pertama, yang pernah menyatakan banyak pemimpin politik yang tidak tahan menjadi oposisi, karena membuat mereka tidak bisa berbisnis," kata Umam dalam keterangannya, Senin (19/2).

Baca Juga: Quartararo Suka Rivalitas Sehat dengan Alex Rins

Umam menjelaskan, manuver Paloh tampaknya memanfaatkan momentum pasca statemen capres terpilih Prabowo Subianto, yang menyatakan siap merangkul semua pihak di kubu 01 dan 03 untuk memperkuat pemerintahannya.

Terlebih, realitas Pilpres 2024 tidak menghadirkan coat-tail effect sama sekali, dimana partainya Prabowo yakni Gerindra harus berpuas diri di peringkat ketiga dengan elektabilitas 13 persen.
 
"Konsekuensinya, Prabowo akan memiliki tingkat ketergantungan politik (political dependency) yang sangat tinggi untuk menjaga stabilitas politik dan pemerintahannya di fase transisi awal kekuasaan yang seringkali penuh turbulensi. Untuk mengamankan itu, Prabowo setidaknya harus bisa mengumpulkan sekitar 70 persen kekuatan politik di parlemen," papar Umam.
 
Oleh karena itu, kesempatan itu seolah menjadi peluang emas bagi partai-partai menengah dan untuk putar balik dari koalisi lama, dengan membelot pada kubu pemenang. Sebab, partai-partai kelas tengah cenderung tidak siap berhadap-hadapan dengan kekuasaan.
 
"Mereka juga tampaknya tidak siap untuk menanggung risiko dan konsekuensi ekonomi politik dan stabilitas internal partainya, ketika mereka harus berpuasa dari kekuasaan. Problemnya, keputusan untuk bergabung dengan kekuasaan ini merupakan ujian riil terhadap konsistensi atau keistiqomahan partai-partai politik itu terhadap gerakan perubahan dan narasi kritis yang mereka usung selama kampanye jelang Pemilu 2024 lalu," papar Umam.
 
Berdasarkan informasi yang dihimpunnya, lanjut Umam, Partai NasDem dikabarkan positif akan masuk ke pemerintahan setelah mengeruk cerug massa properubahan yang menentang pemerintahan.

Selain itu, lingkaran istana dan Prabowo juga sedang mengusahakan pendekatan untuk meyakinkan PDIP bersedia ikut memback up pemerintahan ke depan.
 
"Sebagaimana PDIP dulu mempersilakan Prabowo masuk ke kekuasaan pasca kekalahannya dari Jokowi di Pilpres 2019. Sementara itu, PPP jelas tidak kuat bertahan dari luar kekuasaan dan akan terus mencari jalan untuk bergabung," ungkap Umam.
 
Sementara jika PKS dan PKB bergabung, tampaknya agak problematik di fase awal. Sebab, PKS tergolong paling kuat menyerang pemerintahan Jokowi. Sedangkan PKB sendiri intens menggunakan 'slepetnya' untuk menghantam kredibilitas pemerintahan dan Jokowi secara personal.
 
"Namun, semua itu akan bergantung pada basis kebutuhan penciptaan stabilitas politik dan pemerintahan di fase awal transisi kekuasaan Prabowo ke depan," pungkas Umam. (jp)

Tag
Share