Palestina Mengubah Arah Sejarah Dunia

Palestina Mengubah Arah Sejarah Dunia-foto: net-

Pelajaran dari Sejarah Revolusi Kemerdekaan

Untuk memahami masa depan Palestina, kita perlu menengok kembali sejarah bangsa-bangsa yang meraih kemerdekaan setelah Perang Dunia II.

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 1945, perjuangan bersenjata diikuti dengan diplomasi intensif. Konferensi Meja Bundar 1949 menjadi bukti bahwa persatuan nasional, perjuangan bersenjata, diplomasi dan tekanan internasional dapat memaksa kekuatan kolonial mengakui kedaulatan bangsa yang gigih memperjuangkan haknya.

Begitu pula dengan Aljazair (1954–1962). Revolusi kemerdekaan yang menewaskan lebih dari satu juta jiwa akhirnya berhasil mengguncang opini publik Prancis dan membuka jalan bagi kemerdekaan Aljazair. Vietnam (1945–1975) menunjukkan kombinasi antara keteguhan militer lokal dan dukungan global terhadap semangat anti-kolonial yang akhirnya mengakhiri dominasi Amerika Serikat.

Dari pengalaman itu, ada lima pelajaran penting yang bisa dipetik oleh perjuangan Palestina:

    Persatuan nasional adalah fondasi revolusi. Tanpa kesatuan visi politik dan kepemimpinan terpadu, perjuangan mudah dipecah bahkan disabotase dari dalam.

    Legitimasi moral di mata dunia. Dukungan masyarakat internasional (deep society) sering kali lebih kuat daripada dukungan pemerintah (deep state).

    Momentum geopolitik global. Kemerdekaan sering tercapai saat tatanan dunia sedang berubah—seperti pasca perang besar dunia atau krisis ekonomi global.

    Kekuatan narasi. Revolusi berhasil ketika dunia percaya bahwa perjuangan itu sah, bermoral, dan sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.

    Keseimbangan antara perlawanan dan diplomasi. Perang di lapangan dan perundingan di meja diplomasi bukan dua hal yang bertentangan, melainkan saling melengkapi.

Taufan Al-Aqsa: Revolusi pra-Kemerdekaan

Dalam konteks sejarah itu, Taufan Al-Aqsa bisa dipahami sebagai revolusi pra-kemerdekaan Palestina. Ia belum melahirkan kemerdekaan politik, tetapi telah mengguncang legitimasi moral Israel di mata dunia.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, banyak kalangan di Barat mulai meninjau ulang posisi mereka terhadap konflik ini. Lembaga-lembaga HAM internasional dan politisi terkemuka di negara Barat kini berani menggunakan istilah “apartheid”, “pembersihan etnis”, hingga “genosida” dalam laporan resmi mereka terhadap Israel. Contoh nyata, Tucker Carlson seorang ahli politik konservatif AS speak up dan bersuara keras mengkritisi Israel. Dia terkenal di seantero dunia dengan ucapannya, “Stop calling it a war. It’s genocide, it’s an invasion, it’s ethnic cleansing!”

Lebih penting lagi, dukungan masyarakat sipil global terhadap Palestina meningkat drastis, meski pemerintah negara besar masih berhati-hati. Ini yang disebut para analis sebagai pergeseran dari deep state ke deep society: ketika hati nurani masyarakat dunia lebih cepat bergerak daripada kepentingan geopolitik negaranya.

Taufan al-Aqsa seolah mengubah taktik meraih simpati global dari mempengaruhi ‘deep state’ yang perlu perjuangan 8 dekade untuk sampai ke titik ini, dengan menyentuh sisi kemanusiaan yang paling fundamental hingga merasuk ke jantung ‘deep society’ dan mengubah pandangan dan perilaku masyarakat internasional dalam melihat isu Palestina.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan