'Hamba Sahaya Melahirkan Tuannya', Salah Satu Tanda Datangnya Kiamat

Salah Satu Tanda Datangnya Kiamat.-foto: net-
Makna 'Hamba Sahaya Melahirkan Tuannya'
Makna dari ungkapan 'hamba sahaya melahirkan tuannya' ditafsirkan beberapa ulama, merujuk pada meningkatnya jumlah hamba sahaya dan keturunannya. Terdapat beberapa tafsiran mengenai maksud dari hadits ini. Berikut beberapa pendapat dari para ulama:
1. Anak Menjadi Tuan atas Ibunya Sendiri
Masih dikutip dari buku karya Dr Umar Sulaiman al-Asygar, dijelaskan bahwa frasa 'hamba sahaya melahirkan tuannya' menandakan banyaknya jumlah hamba sahaya serta keturunannya. Dalam konteks ini, anak dari seorang hamba sahaya memiliki kedudukan yang sederajat dengan majikannya, sebab harta seseorang akan diwariskan kepada anaknya.
Pendapat lain menyebutkan bahwa para hamba sahaya akan melahirkan anak-anak yang kelak menjadi raja atau pemimpin. Akibatnya, ibu mereka yang sebelumnya seorang hamba sahaya berperan sebagai pengasuh, sementara anaknya menjadi seorang tuan yang berkuasa.
Fenomena ini telah terjadi di masa lalu, di mana banyak budak yang akhirnya memperoleh kebebasan dan memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat.
2. Pertanda Maraknya Perbudakan
Dikutip dari buku 6 Pilar Keimanan karya Syaikh Nawawi, hadits ini dikaitkan dengan kondisi dunia di akhir zaman yang ditandai dengan semakin maraknya praktik perbudakan. Salah satu bentuknya adalah penjualan ibu secara masif, hingga akhirnya seorang anak bisa saja tanpa sadar membeli ibunya sendiri sebagai budak.
Pendapat lain dari Syarah An-Nawawi 'ala Muslim menjelaskan bahwa kata al-amah dalam hadits ini secara bahasa berarti budak perempuan yang ditawan dalam perang. Maka, tanda kiamat yang disebutkan dalam hadits ini mengisyaratkan bahwa perbudakan akan kembali merebak di masa depan, banyak budak perempuan yang memiliki anak dari tuannya.
Fenomena ini juga diperkuat oleh pendapat dalam Tafsir al-Azhar Jilid 3 karya Hamka, yang menyatakan bahwa hadits ini bisa dimaknai sebagai kondisi seseorang yang asal-usulnya tidak jelas, namun kemudian diadopsi oleh seorang budak. Seiring waktu, orang tersebut menjadi sombong setelah mendapatkan kedudukan dan kekuasaan.
3. Budak sebagai Kiasan
Beberapa ulama menafsirkan hadits ini bukan secara harfiah, melainkan sebagai bentuk kiasan. Imam Ibnu Hajar al-'Asqalani menentang pandangan bahwa hadits ini hanya berkaitan dengan praktik perbudakan fisik, sebab perbudakan telah lama terjadi, bahkan di masa Rasulullah SAW.
Syeikh Mustofa Dib al-Bugha dan Syeikh Muhyiddin Mistu dalam Kitab al-Wafi fi Syarh al-Arba'in al-Nawawiyyah berpendapat bahwa hadits ini menggambarkan semakin banyaknya anak-anak yang durhaka kepada orang tua mereka.
Akibat kedurhakaan yang merajalela, seorang anak memperlakukan ibunya seperti seorang tuan memperlakukan hambanya. Mereka berani memarahi, menghina, bahkan membuat orang tua mereka takut, sebagaimana seorang hamba sahaya merasa takut kepada tuannya. Hal ini sejalan dengan tanda kiamat lainnya, di mana orang tua kehilangan wibawa di hadapan anak-anaknya.
Perbuatan durhaka sebagai tanda hari kiamat tersebut digambarkan hingga seorang ibu atau ayah menjadi takut pada anaknya sendiri seperti hamba sahaya yang takut pada tuannya. Hal itu diyakini terjadi pada fase peluruhan waktu (fasad al-zaman) dan pembalikan tatanan kehidupan (inqilab al-ahwal). (net)