Doa di Media Sosial: Antara Ibadah dan Dakwah
--
RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Ucapan doa, bisa dilakukan di mana saja, termasuk di media sosial (medso), apakah ini termasuk ranah ibadah dan dakwah?
KITA seraing mendapati masyarakat, sahabat, keluaga kita mengirim doa di media sosial (Medsos). Ucapan yang dikirim dalam bentuk tertulis, dalam Bahasa Arab atau terjemahan tentusaja merupakan bagian dari dakwah.
Dalam Islam, doa adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan. Rasulullah ﷺ bersabda;
“Doa adalah senjata orang mukmin” (HR. Bukhari).
Doa merupakan sarana utama bagi seorang hamba untuk memohon kepada Allah SWT, mengungkapkan harapan, rasa syukur, dan memohon pertolongan.
Baca Juga: Tergulingnya Rezim Assad Membuka Jalan Bagi Kemerdekaan Palestina, Bukan Sebaliknya
Selain itu, doa juga mempererat hubungan antara manusia dan Tuhan atau Rabbnya. Oleh karena itu, doa bukan hanya tindakan spiritual, tetapi juga manifestasi dari keimanan seseorang.
Dalam era digital saat ini, fenomena memposting doa di media sosial menjadi perdebatan menarik: apakah tindakan ini tetap dapat dianggap sebagai doa?
Doa yang diposting di media sosial memiliki sisi positif dan negatif yang perlu dipertimbangkan. Di satu sisi, mempublikasikan doa bisa menjadi bentuk dakwah yang mengingatkan orang lain untuk berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam masyarakat yang sibuk dengan rutinitas harian, konten berupa doa dapat menjadi penyegar spiritual, memberikan inspirasi, atau sekadar menjadi pengingat akan pentingnya hubungan dengan Allah SWT.
Namun, Islam juga menekankan pentingnya keikhlasan dalam ibadah. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 186;
“وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِى وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Ayat tersebut menegaskan bahwa doa adalah komunikasi langsung antara hamba dan Tuhannya. Oleh karena itu, aspek personal doa ini menjadi nilai utama yang harus dijaga.
Ketika doa dipublikasikan di media sosial, nilai personal tersebut bisa berkurang, karena doa menjadi konsumsi publik yang dapat dilihat dan dinilai oleh orang lain.
Doa sebagai Ibadah
Dalam memposting doa di media sosial, niat menjadi hal yang sangat penting. Rasulullah ﷺ bersabda, yang artinya; “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika niat mempublikasikan doa adalah untuk menginspirasi, mengingatkan, atau menyebarkan kebaikan, maka tindakan tersebut bisa bernilai positif.
Namun, jika tujuannya adalah untuk mencari perhatian, pujian, atau popularitas, maka hal ini dapat tergolong riya, yang dilarang dalam Islam.
Riya tidak hanya mengurangi nilai ibadah, tetapi juga bisa menjadi dosa yang merusak hubungan spiritual seseorang dengan Allah.
Doa dalam Islam memiliki aspek personal yang sangat kuat. Dalam QS. Al-Baqarah: 186, Allah SWT menyatakan bahwa Dia dekat dan mengabulkan permohonan hamba-Nya yang berdoa.
Komunikasi ini bersifat eksklusif antara hamba dan Tuhannya. Ketika doa diposting di media sosial, komunikasi ini berubah menjadi sesuatu yang lebih publik.
Hal ini dapat mengurangi kesakralan doa, terutama jika orang lain mulai memberikan komentar atau bahkan menyalahartikan maksud doa tersebut.
Doa sebagai Dakwah
Di sisi lain, memposting doa di media sosial juga dapat dilihat sebagai bentuk dakwah. Ketika doa yang diposting mampu menginspirasi orang lain untuk lebih dekat kepada Allah, maka hal ini bisa dianggap sebagai amal baik.
Dalam konteks ini, doa yang dipublikasikan lebih menyerupai pesan moral atau pengingat, bukan sekadar doa pribadi.
Misalnya, seseorang yang membaca doa tentang kesabaran bisa termotivasi untuk lebih bersabar menghadapi ujian hidupnya. Dengan demikian, doa yang diposting dapat menjadi alat untuk menyebarkan nilai-nilai Islam secara lebih luas.
Batasan dan Etika
Meski memiliki potensi manfaat, penting untuk mempertimbangkan batasan dan etika dalam memposting doa. Pertama, jangan sampai doa yang diposting menimbulkan perdebatan atau salah tafsir.
Misalnya, doa yang tidak disertai dengan penjelasan atau konteks yang jelas bisa menjadi bahan perdebatan di ruang digital.
Kedua, penting untuk menjaga agar postingan doa tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Beberapa orang mungkin merasa terganggu jika notifikasi doa muncul terlalu sering, terutama jika dilakukan di waktu yang kurang tepat.
Ketiga, penting untuk tidak berlebihan dalam mempublikasikan doa. Dalam Islam, segala sesuatu yang dilakukan secara berlebihan tidak dianjurkan. Memposting doa setiap saat, misalnya, bisa membuat orang lain merasa bosan atau bahkan meremehkan isi doa tersebut.
Oleh karena itu, diperlukan kebijaksanaan dalam menentukan kapan dan bagaimana doa diposting.
Doa yang diposting atau diunggah di media sosial tetap bisa dianggap sebagai doa jika memenuhi syarat-syarat dasar doa dalam Islam, yaitu niat yang ikhlas dan ditujukan kepada Allah SWT.
Namun, esensinya sebagai komunikasi langsung dan personal dengan Allah berubah menjadi bentuk komunikasi yang lebih terbuka dan publik.
Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dan niat yang benar agar tindakan ini tetap bernilai ibadah dan tidak menjadi riya atau menimbulkan dampak negatif.
Sebagai umat Islam, kita perlu bijak dalam memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan kebaikan. Doa yang diposting sebaiknya bertujuan untuk mengingatkan, menginspirasi, dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari perhatian atau pengakuan.
Dengan demikian, media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan nilai-nilai Islam tanpa mengurangi makna spiritual doa itu sendiri.
Dalam segala hal, termasuk memposting doa, keikhlasan dan kebijaksanaan tetap menjadi kunci utama agar setiap tindakan bernilai ibadah di mata Allah SWT. Allahu a’lam. (net)