Pendapat Ginanjar Wiro Sasmito Soal Nestapa Kampus Swasta

Ginanjar Wiro Sasmito, Direktur Eksekutif Perkumpulan Politeknik Swasta / Wakil Direktur IV Politeknik Harapan Bersama.-Foto: net-

JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Direktur Eksekutif Perkumpulan Politeknik Swasta, Ginanjar Wiro Sasmito menyampaikan pendapat tentang betapa berat dan pilu mengelola kampus swasta setidaknya dalam beberapa tahun terakhir.

Stigma publik yang memposisikan kampus swasta sebagai pilihan masyarakat kelas dua dan dianggap tidak prestisius merupakan masalah tersendiri yang telah melekat pada alam pikiran masyarakat.

Kendati demikian, kampus swasta berdiri, beroperasi dan berdikari justru membantu meringankan beban dan kewajiban negara dalam menjalankan amanah undang undang, yaitu turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berdasarkan data yang terdapat pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI) 17 November 2024, perbandingan jumlah kampus aktif di bawah Kemendikti Saintek (Kementrian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi) untuk kampus swasta / Perguruan Tinggi Swasta yakni 2.706, sedangkan kampus negeri / Perguruan Tinggi Negeri yaitu 125.

Menurutnya, sejumlah kampus swasta yang tersebar di pelosok Indonesia sebaiknya tidak dipandang berupa angka yang menjadi indikator kuantitatif semata.

Kampus swasta hendaknya dilihat sebagai bagian penting dalam membangun kualitas sumber daya manusia, dan memperluas akses pendidikan tinggi bagi masyarakat.

"Kampus swasta juga seharusnya dipandang sebagai aset yang memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan, sesuai dengan definisi pendidikan tinggi yang masih berlaku di negeri ini - UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi," ungkap Ginanjar Wiro Sasmito dalam keterangan resmi, Sabtu (7/12).

Wakil Direktur IV Politeknik Harapan Bersama itu menyebut, memposisikan kampus swasta sebagai mitra strategis dalam peningkatan mutu pendidikan bagi seluruh anak bangsa ke jenjang pendidikan tinggi adalah hal yang semestinya dilakukan secara serius dan terencana.

Meski demikian, asa tersebut perlu terus diikhtiarkan oleh seluruh pengelola kampus swasta, sehubungan dengan beberapa kebijakan negara yang membuat pilu dan resah yang dirasakan oleh pengelola kampus swasta.

Ginanjar Wiro Sasmito menilai negara sudah seharusnya melihat kampus swasta dengan kaca mata yang lebih jernih.

"Pengelola kampus swasta memerlukan kesempatan yang setara dan dukungan yang adil untuk terus berkembang dan berkontribusi bagi pendidikan nasional. Kampus swasta sudah cukup lama membuktikan dirinya mampu mandiri, tanpa terlalu banyak mendapatkan uluran tangan pemerintah," jelasnya.

 Menurutnya, terbitnya undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mengatur otonomi perguruan tinggi negeri untuk menjadi PTNBH telah meninggalkan permasalahan tersendiri, setidaknya bagi pengelola kampus swasta.

Tidak hanya mengenai calon mahasiswa baru yang akhirnya sebagian besar memilih masuk ke kampus negeri, akan tetapi permasalahan lain muncul seperti beberapa dosen tetap kampus swasta saat ini lebih tergiur untuk berpindah homebase ke kampus negeri dengan berbagai status, baik sebagai PNS, PPPK, maupun dosen tetap non PNS.

Ginanjar Wiro Sasmito berpendapat, beban berat yang ditanggung kampus swasta dalam menghadapi dampak dari kebijakan PTNBH sungguh luar biasa, setelah menghadapi turunnya jumlah mahasiswa.

Salah satu penyebabnya, ditambahkannya kuota penerimaan mahasiswa baru pada kampus negeri untuk menutup biaya operasional, kini kampus swasta juga dihadapkan pada permasalahan dengan beralihnya dosen-dosen terbaik yang menjadi andalannya ke kampus negeri.

Tidak sampai di situ, mutu dan kualitas program studi kampus yang sebelumnya diukur melalui akreditasi dan dilakukan oleh BAN PT dengan biaya yang ditanggung oleh negara melalui APBN, kini dialihkan ke LAM (Lembaga Akreditasi Mandiri) yang biayanya dibebankan ke pengelola kampus masing-masing.

Nilai yang menurut hampir semua pengelola kampus swasta bukan nilai yang rendah, di saat beberapa kampus swasta di wilayah perkotaan harus bersaing keras dengan kampus negeri untuk mendapatkan calon mahasiswa guna survivability atau menjaga sustainbility, dan beberapa kampus swasta yang terdapat di daerah terpencil masih rela menerima biaya kuliah dari mahasiswa menggunakan hasil pertanian, perkebunan atau hasil bumi lainnya.
Selanjutnya, pascaterbit Permendikbudristek 44 tahun 2024 tentang profesi, karier, dan penghasilan dosen, beserta rencana penerapannya pada Agustus 2025 telah menambah kekhawatiran nestapa bagi pengelola dan penyelenggara kampus swasta.

Isi Permendikbudristek memang telah mengakomodasi proses pengangkatan dosen, mobilitas, serta proses sertifikasi dosen hingga berjalan lebih lancar. Kampus juga bisa lebih otonom sehingga karier dosen semakin lebih maju dan berkembang.

Selain itu, isi Permendikbudristek tersebut juga mencakup berbagai aturan yang lebih jelas agar profesi dosen semakin bermartabat dengan hak-hak ketenagakerjaan yang semakin terlindungi, besaran gaji dosen non-ASN mengikuti Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.

"Sebagai seorang dosen, tentu regulasi ini merupakan kabar yang menggembirakan dan menyambut positif dengan terbitnya Permendikbudristek tersebut, karena melalui regulasi ini telah terdapat jaminan kesejahteraan dosen dengan standar pengupahan yang lebih layak," bebernya.

"Besar harapan pada Kabinet Merah Putih di bawah komando Presiden Prabowo Subianto ini, pilu, rintihan dan jeritan penyelenggara atau pengelola kampus swasta semakin mereda bukan malah makin menggema," tutup Ginanjar Wiro Sasmito. (jp)

Tag
Share