JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - PADA awal abad ke-20, di tengah penjajahan kolonial Hindia Belanda, Syeikh Ahmad Surkati—seorang ulama reformis asal Sudan—membangun bukan hanya institusi pendidikan, tetapi juga kepanduan, sebuah barisan kader tangguh untuk membela agama dan bangsa, atau saat ini namanya Pramuka.
Sekolah-sekolah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang ia dirikan di berbagai kota menjadi ladang penyemaian generasi muda Islam yang berilmu, berani, dan mencintai tanah air.
Di Batavia tahun 1920-an, aktivitas Syeikh Surkati dan para muridnya diawasi ketat oleh pemerintah kolonial. Mereka mencurigai setiap kegiatan yang membangkitkan semangat nasionalisme, terutama di kalangan bumiputera terpelajar.
Untuk mengelabui pengawasan itu, Surkati merekrut seorang mahasiswa STOVIA yang cerdas dan penuh semangat, Kasman Singodimedjo, sebagai guru kepanduan di sekolah Al-Irsyad.
Namun di balik aktivitas kepanduan yang terlihat kasat mata, ada proses kaderisasi ideologis yang berlangsung diam-diam pada malam hari.
Kasman bukan sekadar melatih baris-berbaris dan keterampilan lapangan. Ia menyampaikan pemikiran-pemikiran Islam modern dan semangat kebangsaan kepada para murid, termasuk mereka yang berasal dari STOVIA, Rechtshoogeschool, dan sekolah-sekolah Barat lainnya. Dari sinilah benih organisasi Jong Islamieten Bond (JIB) tumbuh—organisasi pelajar Islam yang kelak menjadi kekuatan penting dalam kebangkitan nasionalisme berbasis keislaman.
Kepanduan Al-Irsyad kala itu menjadi wadah terselubung untuk membina generasi intelektual Muslim yang berani dan mandiri.
Pada dekade 1930-an, Al-Irsyad mengembangkan kegiatan kepanduan secara lebih formal dalam bentuk Padviderij Al-Irsyad. Organisasi ini dipimpin oleh A.K. Banaimun, seorang guru sekaligus organisator ulung yang melanjutkan semangat Kasman dalam membina jiwa muda.
Di bawah kepemimpinannya, kegiatan kepanduan berkembang menjadi latihan terpadu antara pembinaan fisik, keterampilan hidup, kedisiplinan, serta penanaman nilai-nilai Islam dan cita-cita kemerdekaan.
Padviderij Al-Irsyad tidak berdiri sendiri. Di berbagai kota, ia berjejaring dengan organisasi-organisasi kepanduan lain seperti Hizbul Wathan (Muhammadiyah), Pandu Ansor (NU), dan Pandu Kebangsaan.
Kepanduan ini melahirkan pemuda-pemuda Islam yang teguh iman, tangguh jasmani, dan tajam pikirannya—citra ideal seorang mujahid intelektual.
Di Buitenzorg (kini Bogor), semangat ini menemukan manifestasi paling mencolok. Di bawah kepemimpinan Ali Azzan Abdat, kepanduan Al-Irsyad membentuk sebuah corps muzik yang terkenal sebagai “pasukan seruling”—ikon yang mempersatukan berbagai kelompok kepanduan di wilayah itu.
Dalam semangat solidaritas, Ali Azzan Abdat memimpin upaya konsolidasi antarorganisasi kepanduan, hingga terbentuk Kepanduan Bangsa Indonesia (K.B.I.), bekerja sama dengan Kepanduan Pasundan dan Pandu Rakyat Indonesia.
Mereka menjalin barisan untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi berbagai tantangan kebangsaan, bahkan sebelum kemerdekaan diproklamasikan.
Di tengah semangat persatuan inilah, nilai-nilai Islam, nasionalisme, dan kemanusiaan menyatu dalam latihan dan pergerakan.