Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Wacana Penambahan Kewenangan Polri, Kejaksaan, dan TNI

Minggu 09 Feb 2025 - 23:03 WIB

JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Koalisi masyarakat sipil mengkritik wacana penambahan kewenangan lembaga penegak hukum dan militer melalui Revisi Undang-Undang Polri, Kejaksaan, dan TNI.

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute dan BEM SI Kerakyatan itu menilai rencana penambahan kewenangan bagi ketiga lembaga tersebut saat ini sangat keliru.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mieke Verawati mengatakan dengan kewenangan yang ada saat ini, ketiga lembaga itu justru seringkali melakukan penyimpangan, seperti korupsi dan kekerasan.

"Alih-alih melakukan pembenahan dengan memperkuat pengawasan, lembaga-lembaga tersebut di atas justru terlihat tengah berlomba-lomba untuk menambah kewenangannya," kata Mieke Verawati dalam keterangannya, Minggu (9/2).

Baca Juga: Korbankan Keselamatan, Pengamat Transportasi Nilai Pemangkasan Anggaran Pemeliharaan Jalan Tak Tepat

Mieke mencontohkan Kejaksaan Agung sempat dihebohkan kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang menerima suap Rp 8,1 miliar dari buronan kasus korupsi Bank Bali, Djoko Tjandra.

Sementara itu, sejumlah anggota TNI juga terlibat dalam aksi korupsi pada jabatan sipil, seperti kasus yang menyeret mantan Kepala Badan SAR Nasional Marsdya Henri Alfiandi.

Begitu juga di Polri yang merupakan lembaga penegak hukum juga dinodai dengan kasus pemerasan yang menyasar sejumlah warga negara Malaysia konser DWP di JIExpo Kemayoran beberapa waktu lalu.

Pada akhir 2024, publik Indonesia dikejutkan dengan kejadian terbongkarnya kasus penimbunan uang dan harta senilai hampir Rp 1 triliun oleh seorang mantan pejabat di Mahkamah Agung, Zarof Ricar.

Dua bulan sebelum itu, peristiwa operasi tangkap tangan atau OTT terjadi kepada 3 orang hakim yang menyidangkan Ronald Tanur di Pengadilan Negeri Surabaya.

Di saat yang sama, Pemerintah Indonesia menaikkan gaji hakim yang katanya tidak berubah sejak beberapa tahun terakhir.

Karena itu, Mieke khawatir jika ketiga RUU tersebut disahkan hanya akan menambah daftar panjang penyalahgunaan wewenang.

Kekhawatiran lainnya, lanjut Mieke, penambahan kewenangan bagi ketiga lembaga tersebut juga bisa membahayakan iklim penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia, apalagi jika dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

"Yang dibutuhkan saat ini adalah membangun akuntabilitas dan transparansi (good governance) dengan salah satu cara memperkuta lembaga lembaga independen yang ada untuk mengawasai mereka," tegasnya.

Dia mengatakan berdasarkan Indeks Rule of Law 2024 yang dirilis World Justice Project (WJP), Indonesia berada di peringkat ke 68.

Posisi ini justru menurun dari tahun sebelumnya yang berada di urutan 66 atau mengalami penurunan 0,53 poin.

Laporan ini menunjukkan dari 8 dimensi Rule of Law, enam di antaranya mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, termasuk pada dimensi criminal justice.

"Situasi ini tentu tidak luput dari kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini. Ragam kasus yang terjadi selama ini menunjukkan kecenderungan yang kuat bagaimana lembaga penegak hukum seharusnya memperbaiki dan mengevaluasi diri untuk memberikan keadilan kepada masyarakat," ungkap Mieke.

Oleh karena itu, lanjut Mieke, pemerintah dan DPR seharusnya memperkuat semaksimal mungkin lembaga-lembag pengawas yang telah tersedia, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM, Komnas Perempuan dan lainnya.

"Justru sangat salah dan keliru jika saat ini lembaga-lembaga inti (TNI, Polri, Kejaksaan), difasilitasi untuk berlomba memperluas kewenangan," tegasnya.

Atas dasar hal tersebut di atas, kata Mieke, mendesak agar reformasi sistem penegakan hukum ini dapat diarahkan pada dua hal.

Pertama, mengevaluasi sistem pengawasan internal bagi masing-masing lembaga penegak hukum.

Pengawasan internal masing-masing lembaga penegak hukum ini dinilai masih cenderung melakukan praktik impunitas atas nama esprit de corps lembaga masing-masing.

"Pengawasan internal yang lemah tentunya cenderung melonggarkan praktik jahat atau pelanggaran dilakukan oleh masing-masing aknum anggota penegak hukum," terangnya.

Kedua, memperkuat pengawasan eksternal terhadap masing-masing lembaga penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan untuk dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan bagi para penegak hukum menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran.

"Perlu dipastikan lembaga pengawas eksternal ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumber daya yang cukup," imbuhnya.

Menurut Mieke, pemerintah dan DPR seharusnya memperkuat sistem pengawasan yang telah ada saat ini untuk menjadi fokus pembenahan penegakan hukum di Indonesia, baik pengawasan internal maupun ekternal.

"Pemerintah dan DPR seharusnya memperkuat Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian RI, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan dan lain-lain untuk membantu memastikan penegakan hukum menjadi lebih baik dibandingkan lembaga penegak hukum dan militer berlomba-lomba memperluas kewenangan," tegas Mieke mengingatkan.

Dia juga mengingatkan reformasi penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan membangun akuntabilitas dengan memperkuat lembaga pengawas independen.

"Kami mendesak pada DPR dan pemerintah untuk menghentikan dan menolak pembahasan RUU Polri, RUU Kejaksaan, dan RUU TNI," pungkasnya. (jp)

Kategori :