Masjid Fuzhou ini memang berbeda dengan banyak masjid di Tiongkok. Di Beijing maupun Tianjin, masjidnya berada di tengah komunitas Tionghoa suku Hui. Suku Hui itu Islam semua. Masjidnya ramai. Di sekitar masjid penuh dengan resto halal. Enak-enak. Satenya. Huo kuo-nya. Mie dagingnya.
"Hanya kalau Jumat masjid ini ramai. Muslim dari mana-mana datang ke sini," ujar Alwi.
Usai salat magrib kami kumpul lagi di resto ''Bandung''. Resto masakan Indonesia ini sudah punya enam cabang di Xiamen dan Fuzhou. Setelah makan dan omon-omon, guru asal Surabaya tampil. Ia guru piano di Xiamen.
Tidak ada piano di resto itu. Ia sudah merekam suara piano yang ia mainkan. Itu untuk mengiringi istrinya, asal Heilongjiang, yang akan tampil menyanyi. Dia menyanyikan Bengawan Solo. Lalu Rayuan Pulau Kelapa.
"Sudah bisa berbahasa Indonesia?" tanya saya dalam Mandarin.
"Sedikit-sedikit," katanyi. "Mandarin Anda jauh lebih baik dari suami saya," ganti dia menyela.
Saya kira itu caranya merendah. Ternyata begitulah adanya. Sudah 20 tahun punya istri orang Harbin, tinggal di Tiongkok, Mandarinnya guru piano itu masih gaya Suroboyoan.
"Kalau ia bicara Mandarin kadang saya tidak mengerti," ujar sang istri.
Ternyata, di rumah, suami istri ini bicara dalam Bahasa Inggris. Mereka bertemu di luar negeri: di Thailand. Saat sama-sama kuliah di sana.
"Bahasa Mandarin Anda seperti orang di daerah saya," ujarnyi. Lalu dia tampak senang ketika saya infokan bahwa saya pernah belajar dengan cara homestay di kota kelahirannyi: Harbin. Yakni kota yang kalau musim dingin bisa minus 30 derajat. Itulah kota yang tiap tahun diselenggarakan festival istana salju.
Usai Rayuan Pulau Kelapa, si jilbab asal Belitung Timur, Gita Wulan Suci, maju. "Saya mau nyanyi dangdut," katanyi. Saya menebak-nebak dangdut yang mana. Kalau cocok saya akan jadi penari latarnya –pakai gerakan senam dansa.
Ternyata dia mengalunkan lagu Rungkad. Cocok. Ada gerakan senam dansanya. Lalu Poco-Poco. Cocok. Disambung Maumere. Tambah cocok. Semua lagu itu saya hafal gerakannya.
Mereka pun mengikuti gerakan itu di belakang saya. Di lantai dua resto Bandung itu.
Kok semua lagunya Indonesia. Saya pun minta lagu Xiao Ping Guo. Apel kecil. Gerakannya agak mengentak.
Lagi asyik mengentak-entak, ketua Persaudaraan Indonesia ''Warung Kopi'', Christopher Tungka, teriak ketakutan. Ia khawatir lantai dua ini roboh. Apalagi para mahasiswa ikut pula mengentak-entakkan kaki.
Ini memang bangunan tua. Pantas khawatir. Semua bangunan di kawasan ini bangunan tua. Kota tua. Yakni kota tua yang diberdayakan menjadi pusat turisme yang sangat ramai. Tidak boleh ada kendaraan memasuki kawasan ini. Mobil maupun motor.