RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Gadis muda itu seperti tidak punya rasa lelah. la keluar-masuk pedalaman hutan Kalimantan Timur (Kaltim). Bukan berburu binatang, tapi menjadi misionaris.
Mina (23) -begitu mahasiswi Sekolah Tinggi Teologi Tenggarong (Kaltim) ini biasa dipanggil – mendapat tugas “dakwah” di Suku Blusuk Bulungan. Untuk menjalankan tugasnya, ia harus menelusuri jalan setapak dan menembus hutan belantara.
“Di sana memang belum ada pendeta,” katanya. Karena itulah ia merasa bertanggung jawab untuk “menggembala” orang-orang Dayak yang masih terasing itu.
“Berdakwah” sendirian, Mina ternyata cepat menyatu dengan penduduk setempat. Meski seumur-umur belum pernah makan sagu, iapun ikut menyantap makanan pokok orang-orang Blusuk itu.
Bersama-sama masyarakat setempat, ia turut menanam singkong sebagai makanan tambahan. “Dengan cara itu, kami membimbing penduduk yang kebanyakan menyembah burung dan memegang kepercayaan animisme dan dinamisme kepada ajaran Kristus.”
Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Nilai Guru Honorer Harus Diprioritaskan Menjadi PPPK
Menurut Mina, setiap bulan ia mendapat subsidi Rp 100 ribu sampai 200 ribu dari kampusnya.
Ternyata misionaris muda seperti Mina tidak hanya dua atau tiga orang bilangannya, ada ratusan. Kata gadis itu, teman seangkatannya jumlahnya ratusan dan tersebar di berbagai pedalaman Kalimantan.
Kegigihan para misionaris seperti itulah yang mengundang rasa “iri” KH Mastur Anwar Diny. Tokoh yang cukup berpengaruh di Balikpapan ini diam-diam “mengimpikan” dai-da’i seperti para misionaris itu. Militan dan siap ditugaskan di manapun. Kapan dan bagaimana caranya agar mimpi itu terwujud?
Hampir sepuluh tahun, bersama Dr Ali Zaini, Dahlan, dan Muslim Arsyad, Mastur mendirikan Yayasan Ar-Rahman. Yayasan yang berada di Balikpapan ini salah satu aktivitasnya adalah menggembleng calon-calon dai. Mereka inilah yang nantinya ditempatkan di berbagai daerah di Kaltim guna mengembangkan dakwah.
Balapan dengan Pesawat
Kiai Mastur sendiri sudah kenyang makan asam garam berdakwah di pelbagai daerah pedalaman. Lahir di Kandangan (Kalsel), 27 Desember 1934, sejak kecil tekun dan aktif memperdalam Islam. Waktu bermainnya seakan habis untuk mendatangi satu pengajian ke pengajian yang lain bersama neneknya.
Tamat dari Madrasah Tsanawiyah, semangat belajarnya semakin membesar. Tapi Mastur nampaknya bukan anak yang beruntung. Kedua orangtuanya, Badar dan Jannah, tergolong tidak manpu sehingga keinginannya melanjutkan studi pun kandas.
Mastur tidak menyerah. Agar tetap memperoleh ilmu, uang jajan yang diterimanya dari orang tua dikumpulkan dan dibelikan buku-buku. Dari buku itulah ia menyerap berbagai ilmu.”Itu memang pesan orangtua,” ujarnya.
Rupanya ia berbakat menjadi da’i. Pada usia mash belasan tahun, Mastur sudah diundang mengisi ceramah di berbagai tempat pengajian di kampungnya dan sekitarnya. Seiring bertambahnya umur, kegiatan dakwahnya kian melebar ke daerah lain, yakni ke Pulau Laut, sebuah pulau yang terletak di sebelah timur-tenggara kota Banjarmasin.
Tahun 1966 Mastur memutuskan hijrah ke Kaltim. Daerah yang menjadi tujuannya ialah Samarinda. Di kota yang dihuni oleh banyak pendatang dari Banjarmasin ini, ia melanjutkan aktivitas dakwah.
Sebagai ibukota provinsi, Samarinda menjadi pintu gerbang para pendatang. Dari sanalah informasi tentang masyarakat pedalaman diperolehnya, termasuk informasi tentang misionaris yang mulai gencar menggarap pedalaman Kalimantan.
Rupanya kegiatan para misionaris itu membangkitkan ghirah Mastur. Da’i muda ini merasa tertantang. la kemudian menjelajah ke pelbagai pedalaman menebarkan dakwah. Antara lain pernah bertugas di Loa Kulu, Muara Pahu, Kampung Damai Selatan, Kota Bangun, Danau Jempang, dan sebagainya.
Masalah paling berat adalah sarana transportasi. Berbeda dengan di Jawa yang hampir semua jalannya lewat darat, di Kalimantan jalan utamanya lewat air. Terkadang, jika medan sungainya berat, misalnya banyak bebatuan, ia harus turun dan menyeret perahu.
Di Danau Jempang, ia pernah punya pengalaman tak terlupakan. Suatu saat Mastur mendapat undangan ceramah dari Desa Muara Uhung, sebuah desa di tepi danau. Karena kemarau panjang, danau pun kering.Mastur yang berangkat bersama 6 orang dari Departemen Agama (Depag) harus nyemplung ke dalam danau. Bukannya menaiki perahu, ia dan teman-temannya justru mendorong perahu agar sampai perbatasan desa.
“Kaki begitu banyak menginjak ikan,tapi kami tak menghiraukan,” kenang Mastur. Danau Jempang selama ini memang menjadi pusat mata pencaharian para nelayan desa seputar danau.
Eh, sampai di tempat tujuan, peserta pengajian cuma 7 orang. “Alhamdulillah, kendati melelahkan, kami sangat berbahagia karena mereka nampak sangat antusias mendengarkan siraman ruhani,” ujar ayah 6 anak dan kakek dari 8 cucu ini.
Mendengar kedatangan Mastur dan rombongan, sekelompok ummat Islam yang berpaham “Tuhan itu hijau” datang ke mushalla. Jumlah mereka ada 20 orang. Mereka ingin berdebat dan menguji kedalaman ilmu Mastur. Dalam faham mereka, Tuhan itu harus bisa dilihat dan warna Tuhan itu hijau.
Mereka memakai sandaran hadits Rasulullah SAW yang berbunyi “awwaluddin marifatullah” (awal dari mengenal agama adalah mengenal Allah). Kenal, kata mereka, harus melihat langsung. Debat berlangsung dari pukul 21.00 hingga Subuh.
“Kami bersyukur, 20 orang beserta dua pimpinan dari suku Bugis dan Banjar menyadari kekelirannya,” tandas Mastur.
Jika berdakwah di perkotaan biasanya sang da’i dijemput panitia dan dapat “amplop”, di pedalaman justru kerap nombok ongkos. Beda dengan para misionaris yang didukung dana dan organisasi kuat sehingga bisa leluasa menelusuri daerah pedalaman yang diinginkan.
Untuk menjangkau daerah-daerah terpencil, misionaris bahkan dibekali pesawat terbang. Di pedalaman Kalimantan paling tidak ada 7 titik lapangan terbang perintis dan 57 lapangan kecil milik misionaris (data tahun 1999) yang tersebar di berbagai daerah. Sementara Mastur seringkali harus mencari tumpangan kapal. “Ya karena tidak ada ongkos,” akunya.
Tantangan alamnya sungguh berat, apalagi tidak ada dana dan dukungan dari organisasi dakwah yang lain. Penjelajahan Mastur ini pun cuma bertahan satu tahun. Bukan berarti niat menjadi mujahid dakwah surut, tapi ia lebih berpikir untuk mendirikan lembaga pendidikan. Lembaga ini nantinya diharapkan bisa melahirkan mujahid-mujahid yang siap meneruskantongkatdakwah,di manapun ummat membutuhkan.
Ke Arab Saudi
Mastur hijrah ke kota Palu, Sulawesi Tengah. la mendirikan Pondok Pesantren Darul Istigamah di Desa Telawan, Kecamatan Parigi. Ada 40 orang yang menjadi santri di pondoknya.
Seorang diri mengajar santri ternyata membuatnya kewalahan. Mastur berusaha mencari rekan seperjuangan, tetapi siapa yang mau mengajar tanpa dibayar? “Pesantren tidak memiliki dukungan finansial yang cukup untuk menggaji mereka,” Mastur menjelaskan.
Sebagian besar santri memang dibebaskan dari uang SPP, meskipun secara insidental ada orang tua santri yang menyumbang. Akhirnya, pesantren yang dibanggakan itu harus tutup, setelah
menelurkan satu lulusan.”Saya cukup prihatin,” ungkap Mastur.
Atas rekomendasi Mohammad Natsir -cendekiawan Muslim ternama– Mastur berangkat ke Arab Saudi untuk memperdalam ilmu agama. Sayang, kala itu usianya sudah di atas 35 tahun seningga tidak diterima di perguruan tinggi impiannya.
Lagi-lagi Mastur tidak putus asa. Bukankah mencari ilmu tidak harus di perguruan tinggi? Saat itu, di Masjidil Haram ada perkuliahan terbuka yang diasuh oleh para syaikh terkenal. Mastur tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
la masuk dalam kelompok Kulliatul-Qur’an Halaqah, bersama teman-temannya dari Malaysia dan Mesir. Pengajarnya adalah Syaikh Yahya. Pelbagai kitab ditelaah, di antaranya kitab Jalalain dan kitab Ath-Thobari.
Kata pepatah, sejauh-jauh burung terbang, akan kembali ke kandangnya juga. Delapan tahun di Mekah, ia tetap tidak bisa melupakan kegigihan para misionaris itu. Mastur memutuskan untuk kembali ke Kalimantan dan bertahkim di Balikpapan. la kemudian mendirikan Yayasan Ar-Rahman.
Di Yayasan Ar-Rahman, Mastur menggembleng para da’i yang akan dikirim ke pedalaman. Ratusan da’i sudah pernah diterjunkan oleh lembaga yang berkantor di Masjid Istiqamah, jalan Jenderal Sudirman, Balikpapan ini. (net)