Critical Parah

Critical Parah Oleh: Dahlan Iskan-foto :disway.id-

Ya sudah.

Yang penting malam itu akan sampai di Chicago. Berarti petugas check in di depan tadi sangat baik. Tanpa bertanya apa pun langsung mencarikan penerbangan berikutnya. Satu-satunya yang masih ada. Tanpa bayar apa-apa. Tidak ada permintaan agar saya beli tiket yang baru.

Ini masih jam 12 siang. Berarti saya harus enam jam menunggu. Ya sudah. Kan bisa diisi dengan menulis untuk Disway.

Saya pun cari tempat duduk. Sebenarnya tidak mencari. Semua kursi di ruang tunggu itu kosong. Tiba-tiba saya ingat sesuatu: lapar.

Saya juga ingat: masih ada singkong rebus di tas kresek saya. Di bawah buku tebal berjudul American People pemberian Daeng Saleh Mude.

Singkong itu saya rebus waktu di New York. Di rumah James Sundah. Lia, istrinya, tahu: saya harus makan singkong tiap hari. Dia bisa beli singkong yang belum dikupas di New York. 

Saya kupas singkong itu. Saya potong-potong. Saya rebus. Agak banyak. Untuk tiga hari. Sebagian saya bawa. Separonya untuk dimakan di New Haven. Separonya lagi saya panasi di New Haven. Untuk dimakan di Hartford.

Lia juga sudah menelepon Chicago agar Monchie, istri Stevanus Nugroho, menyediakan singkong di rumahnyi.

Waktu pertama tiba di Amerika, saya ajak Ari Sufiati sama-sama mencari singkong di supermarket dekat San Jose. Tidak ketemu. Berarti harus ke supermarketnya orang Meksiko. Tidak ketemu.

Ari tidak menyerah. Dia tahu ''singkong'' itu dalam bahasa Spanyol disebut ''yuka''. Begitu dibilang ''yuka'' langsung ketemu di mana tempatnya.

Enam jam di bandara Hartford. Saya kasihan pada Monchie yang menjemput saya di O'Hare. Tapi saya tahu jarak rumahnyi ke bandara hanya 40 menit. Mestinya belum telanjur berangkat ke O'Hare.

Saya WA dia. Saya pun minta maaf. Ini kesalahan saya. Terlalu lama di Wesleyan University. Juga mengapa tidak check in online. Begitu sepele pun tidak terpikir, apalagi urusan critical thinking.(Dahlan Iskan) 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan