Emas Ton

--

Oleh: Dahlan Iskan

Misalkan Anda beli emas sebanyak 1 ton. Akan Anda simpan di mana?

Bagi mereka yang biasa menyimpan uang besar dalam bentuk emas tidaklah sulit.

Menyimpan emas batangan 1 ton hanya perlu satu brankas ukuran 80 cm x 80 cm, tinggi 120 cm. Jangan khawatir. Banyak yang jual brankas ukuran itu.

Maka kalau pengusaha Surabaya, Budi Said, membeli emas dari Antam sebanyak 6 ton, berarti hanya perlu 3 brankas yang berukuran dua kali lipatnya.

Begitulah. Orang kaya selalu menaruh emas batangan di brankas. Lalu brankas diletakkan di basemen di rumah mereka.

Mereka juga biasa meletakkan ''perpustakaan'' sertifikat tanah di brankas –saling banyaknya.

Saya kenal baik Budi Said. Tapi saya tidak tahu di mana ia menyimpan emasnya yang 6 ton itu. Atau sudah ia jual. Beli jual. Jual beli. Ia tidak mau bicara. Ia pilih bicara yang lain saja.

Nama Budi Said terus berkibar di pengadilan. Orangnya kecil. Selalu tersenyum. Imut.

Pekan lalu Budi mengajukan PT Antam ke pengadilan niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: PKPU. Pengadilan harus membuat putusan cepat: dalam 20 hari. Begitulah ketentuan hukum pengadilan niaga.

Pilihannya: Antam mengajukan perdamaian atau membiarkan dirinya pailit.

Kalau pilih mengajukan usul perdamaian tawaran apa yang dimajukan. Sanggup mencicil utang? Harus diusulkan bagaimana cara mencicilnya. Akan lunas berapa lama.

Seperti yang dilakukan Garuda Indonesia itu.

Atas usulan perdamaian dari Antam itu Budi bisa setuju. Bisa juga tidak.

Pengadilan akan membuka pendaftaran: siapa saja yang punya tagihan ke Antam. Mereka juga punya hak setuju atau tidak setuju atas usulan perdamaian dari Antam itu.

Katakanlah yang punya tagihan ke Antam 40 orang/perusahaan. Pengadilan akan melakukan voting. Berapa di antara mereka yang setuju. Berapa pula yang menolak. Kalau yang setuju kurang dari 75 persen, Antam dinyatakan pailit oleh pengadilan.

Setelah dinyatakan pailit Antam menjadi perusahaan di bawah manajemen kurator. Yang menunjuk kurator adalah yang mengajukan PKPU: Budi Said. Direksi dan komisaris otomatis berhenti bertugas. Yang menjalankan perusahaan adalah kurator.

Baca Juga: Darmawan Wigwam

Tugas kurator hanya satu: melelang perusahaan. Mencari pembeli. Antam harus dijual. Dengan harga paling murah sekali pun. Hasil penjualan untuk membayar utang.

Kalau saja 75 persen dari mereka menerima usulan perdamaian dari Antam, perusahaan tidak pailit. Karena itu Antam harus mengajukan usulan perdamaian semenarik mungkin: berapa besar cicilan pembayarannya dan berapa lama.

Kian besar cicilan kian menarik bagi penagih utang. Kian pendek jangka pembayaran kian menarik pula.

Utang yang harus dibayar Antam ke Budi Said saja Rp 1,2 triliun. Atau sekitar itu.

Utang itu timbul dari transaksi pembelian emas Antam 6 ton di atas: 2018. Budi merasa sudah membayar emas 6 ton itu. Nilainya sesuai dengan harga khusus yang ditawarkan. Bukti pembayaran lengkap. Langsung ke rekening perusahaan Antam. Tapi emas yang diterima Budi tidak 6 ton. Kurang 1,1 ton.

Selisih nilai itulah yang terus ditagih Budi. Tidak mudah. Tagih terus. Gagal.

Budi akhirnya menggugat Antam ke pengadilan. Jadilah perkara perdata. Budi menang. Pengadilan memutuskan Antam masih punya utang ke Budi. Antam harus membayar utang tersebut.

Antam naik banding ke pengadilan tinggi. Budi tetap menang. Antam pun kasasi ke Mahkamah Agung. Budi lagi yang menang.

Upaya terakhir dilakukan Antam: mengajukan PK ke Mahkamah Agung. PK itu ditolak. Berarti Budi punya pegangan hukum yang amat kuat. Ia tinggal melakukan permohonan eksekusi: agar putusan pengadilan itu dilaksanakan oleh Antam.

Budi sudah mengajukan permohonan itu. Tapi Antam tetap tidak mau membayar.

Mahkamah Agung pun melayangkan surat peringatan pada Antam. Tidak juga ditaati.

Maka Senin lalu Budi mengajukan PKPU.

Dalam kasus Garuda, BUMN pun tunduk pada putusan pengadilan niaga. Entah Antam kali ini.

Antam kelihatannya memainkan jurus hukum yang lain. Antam beranggapan yang salah bukanlah perusahaan. Yang salah adalah oknum individual dalam proses transaksi emas 6 ton itu.

Maka Antam mengadukan orang-orang itu ke polisi: 3 orang. Mereka adalah Eksi Anggraeni, Endang Kusmoro dan Misdianto.

Budi membeli emas lewat mereka. Di pengadilan Budi mengatakan datang sendiri ke Butik Logam Mulia resmi milik Antam di Surabaya. Di situ ditemui tiga orang tersebut.

Tiga orang itu pun dinyatakan sebagai tersangka. Diproses sampai diajukan ke pengadilan. Sudah pula dijatuhi hukuman: Eksi 3 tahun 10 bulan. Endang 2 tahun 6 bukan, Misdianto 3 tahun 6 bulan.

Mereka sudah menjalani hukuman itu. Sudah selesai. Rupanya mereka tidak naik banding. Mereka terima hukuman itu. Mereka jalani.

Tentu Antam puas tapi tidak dapat apa-apa dari mereka. Padahal gara-gara mereka Antam jadi punya utang Rp 1,2 triliun.

Maka Antam kembali mengadukan mereka. Kali ini bukan pidana biasa, tapi pidana korupsi. Di urusan yang sama tapi bukti yang lain: membuat kerugian negara Rp 152 miliar.

Sidang tipikornya pun sudah berjalan. Pengacara Retno Chandra SH yang kembali jadi pengacara mereka.

Hari Jumat kemarin adalah pembacaan tuntutan jaksa: Eksi Anggraeni dituntut hukuman 10 tahun penjara.

Kalau pun nanti Eksi diputus bersalah –dan masuk penjara lagi– apa yang bisa didapat Antam? Akankah bukti bahwa ada unsur korupsi dalam kasus ini bisa dipakai untuk melawan PKPU?

Rupanya itulah taktik yang sedang dipakai Antam. Agar terhindar dari kewajiban membayar utang seperti yang sudah diputuskan pengadilan.

Kalau perkara korupsi itu bisa menjadi celah hukum berarti akan ada adu cepat: mana lebih dulu diputuskan. Putusan pengadilan niaga atau putusan pengadilan tipikor.

Putusan PKPU, kalau tidak bisa diulur, akan terjadi sekitar 15 hari lagi. Nasib Antam ditentukan dalam 15 hari.

Sedang putusan pengadilan tipikor masih harus menunggu proses berikut ini: terdakwa Eksi akan mengajukan duplik. Itu haknyi. Mungkin 7 hari lagi. Lalu jaksa mengajukan replik. Agar bisa mengejar waktu replik bisa disampaikan di hari yang sama.

Lantas hakim membuat putusan. Bisa 7 hari kemudian.

Berarti sama-sama perlu waktu sekitar 15 hari. Atau hakim tipikor kerja keras: membacakan putusan dua hari setelah duplik dan replik. Berarti bisa 5 hari lebih cepat dari putusan PKPU.

Tapi bisa juga ada drama korea: Eksi tiba-tiba sakit. Bisa sebelum duplik. Bisa juga sebelum vonis dibacakan. Kalau sakitnya 7 hari berarti seru sekali.

Kalau sampai putusan tipikor bisa jadi alat untuk melawan PKPU maka sejarah baru akan terjadi di peradilan Indonesia.

Tebak skor bisa berubah jadi tebak Eksi: dia akan terpaksa sakit atau tidak. (Dahlan Iskan)

Tag
Share