Beberapa menit kemudian hakim masuk. Dari pintu samping depan. Hakim tunggal. Para jaksa bangkit, melewati pembatas, duduk di kursi deretan jaksa. Pun pengacara. Dan penulis Steno.
Tidak ada yuri hari itu. Deretan kursinya kosong.
Terdakwa dibawa masuk. Lewat pintu samping kedua. Ia ditenteng oleh tiga petugas keamanan. Tangannya diborgol. Pun tetap diborgol selama persidangan. Tiga petugas keamanan berdiri di kiri, kanan dan belakang terdakwa. Nyaris mepet orang yang diborgol itu. Penjagaan yang ketat.
Hakim minta jaksa bicara. Ke podium. Tidak sampai dua menit. Lalu hakim dialog dengan terdakwa. Beberapa pertanyaan. Tidak sampai lima menit.
Lalu hakim mengucapkan putusan: Anda dijatuhi hukuman tujuh tahun.
Hanya itu. Hanya diucapkan. Tidak ada naskah yang dibaca. Apalagi berjam-jam.
Sidang pun selesai. Keseluruhannya tidak sampai 15 menit.
Rupanya hari itu memang sidang khusus pembacaan vonis --ups, pengucapan. Proses persidangan perkaranya sendiri di hari-hari sebelumnya.
Terdakwa dibawa ke luar. Pengacara dan jaksa juga meninggalkan tempat. Hakim tetap duduk di tempatnya. Santai. Rupanya akan ada sidang berikutnya.
Saya bergegas keluar ruangan. Mengejar pengacara. Itu perkara apa. Terdakwanya berkulit hitam. Pun pengacaranya. Ia tidak dibayar oleh terdakwa. Pengadilanlah yang memintanya jadi pembela. Rambut pengacara ini unik: dikelabang menjadi puluhan kelabang kecil.
Itu perkara pembunuhan. Sidangnya delapan kali. Pakai yuri. Di sidang sebelum ini yuri memutuskan ia bersalah. Hari itu hakim tinggal memutuskan nilai hukumannya.
Inilah peradilan yang simple, cepat dan murah.
Saya beruntung hari itu. Tidak ada sidang Trump. Bisa ikut dua sidang. Masih bisa lagi keliling ke lantai 10, tempat jadwal sidang diumumkan.
Besok, daya tarik persidangan Trump berada di puncaknya. Untuk bisa masuk harus antre panjang. Saya sepakat dengan Erick: akan mulai antre jam 05.00 pagi. Berarti jam 04.00 harus berangkat. Trump telah menyiksa saya. Yang disiksa mau. (Dahlan Iskan)