Oleh: Dahlan Iskan
Inilah daging bagi Danantara: membangun pabrik baru yang hasilnya 100 persen laku. Pabrik itu sudah hampir selesai dibangun. Dua-tiga bulan lagi sudah bisa berproduksi.
Itulah pabrik alumina. Di Kalbar. Dekat pelabuhan baru Kijing di luar kota Pontianak. Bahan baku alumina Anda sudah tahu: bauksit. Di Kalbar banyak sekali tambang bauksit.
Alumina dari Kalbar itu nanti dikirim sepenuhnya ke Inalum di Sumut. Menjadi bahan baku peleburan alumunium di Tanjung Balai, dekat muara sungai Asahan itu.
Berarti satu lagi hilirisasi terwujud: bauksit. Kalau hasil hilirisasi nikel di Morowali untuk dikirim ke Tiongkok, yang bauksit ini untuk kepentingan dalam negeri. Dengan hilirisasi di Kalbar ini Inalum tidak akan impor lagi bahan baku. Selama ini Inalum impor alumina dari Australia. Sejak dulu. Sejak Inalum didirikan dan dimiliki oleh perusahaan Jepang.
BACA JUGA:Centang Satu
Melakukan hilirisasi bauksit di Kalbar hampir mustahil: tidak cukup ada listrik di sana. Tidak pula ada air terjun yang bisa untuk PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air). Kalau membangun pembangkit dari minyak solar harga listriknya mahal sekali. Pilihan terbaiknya adalah PLTU batubara. Tapi pemerintah sudah telanjur bertekad tidak akan memberi izin baru untuk PLTU batubara. Alasannya: untuk memenuhi komitmen internasional dalam mengurangi emisi.
Khusus untuk pabrik alumina di Kalbar rupanya ada izin khusus. Proyek ini terlalu penting untuk dilewatkan. Kepentingan dalam negerinya sangat besar. Maka diizinkanlah pembangunan PLTU batubara di sana: 3 x 25MW. Cukup untuk kepentingan pabrik alumina itu.
Tentu Kalbar harus mendapat izin khusus itu. Morowali saja bisa dapat izin. Di sana juga dibangun PLTU batubara baru. Untuk smelter nikel. Padahal produknya untuk dikirim ke Tiongkok.
Anda pun menjadi tahu: salah satu alasan Indonesia dikenakan tarif tinggi oleh Presiden Donald Trump adalah PLTU. Indonesia masih membangun pembangkit listrik baru tenaga batubara.
Awalnya saya kaget: itu tidak benar. Indonesia sudah menghentikan izin baru PLTU batubara. Bahkan PLTU yang ada pun akan dipensiunkan dini. Demi memenuhi komitmen internasional di bidang pengurangan emisi.
Saat saya ke Pontianak Senin lalu saya merasa malu sendiri. Ternyata Indonesia memang masih mengizinkan pembangunan PLTU baru batubara. Hanya saja bukan di lingkungan PLN. Bukan pula milik swasta yang listriknya dijual ke PLN. Semua PLTU baru itu kaitannya dengan smelter: nikel, tembaga dan bauksit.
Tiongkok sebenarnya juga melakukan hal yang sama. Di sana saat ini juga sedang dibangun PLTU-PLTU baru batubara. Ribuan MW. Tiongkok mengabaikan kritik internasional demi memenuhi kebutuhan listrik dalam negerinya.
Dengan adanya PLTU 3 x 25 MW di Kalbar pabrik alumina terbangun. Kita pun mampu memproduksi sendiri baham baku untuk peleburan alumunium di Inalum.
Kalau pabrik di Kalbar memproduksi alumina, Inalum di Asahan memproduksi alumunium batangan --ingot. Alumunium batangan dijual ke pabrik-pabrik alumunium untuk memproduksi panci, wajan, kerangka atap rumah, kusen pintu dan banyak lagi. Kini praktis alumunium sudah meggantikan fungsi kayu yang kian mahal.