Oleh: Dahlan Iskan
MENGAJAR musik di Shanghai! Alangkah asinnya Anastasia sampai masih diperlukan untuk menggarami lautan.
Tapi itulah kenyataannya: Anastasia tidak hanya pandai main piano.
Dia juga cantik –lima ''i''. Muda. Riang-gembira. Lincah. Luwes. Berlesung pipit. Semua kelebihan seorang gadis seperti dia ambil semua.
Hody Zacharia yang mengajak Anastasia bertemu saya. Makan malam. Di resto Madina –masakan Xinjiang. Dekat hotel tempat saya menginap di Shanghai. Mereka sama-sama jomblo. Saya juga lagi jomblo dadakan –ditinggal keluarga ke Disneyland sampai malam.
Heboh.
Anastasia pintar bercerita. Sudah 14 tahun di Shanghai. Yakni sejak tamat SMA di Medan –SMA Sutomo 1.
Dia satu-satunya cewek di empat bersaudara. Dieman-eman. Yang lain harus main basket. Anastasia tidak boleh ikut olahraga. Dia seperti diinkubasi agar tidak ikut berotot. Dia dikursuskan piano. Sejak kecil. Dan dia menyenangi itu.
Ayah Anastasia persis ibarat dunia itu kecil: ternyata saya kenal. Sama-sama tua –meski saya jauh lebih tua. Ia pemain basket terkemuka. Masuk timnas. Di zamannya. Tahun 1986 saya juga sudah menjadi manajer basket junior Indonesia berlaga di Beijing. Itulah kali pertama saya ke Tiongkok –ketika miskinnya jauh di belakang kita.
Awalnya Anastasia akan disekolahkan musik di Medan –agar cewek satu-satunya tidak jauh dari papa-mama.
Begitu tes masuk, gurunya kaget. "Kamu harus langsung sekolah musik di Singapura, Shanghai, atau Beijing," ujar guru musik di Medan.
Anastasia tidak mau kumpul kakaknyi di Singapura. Dia ingin ke Shanghai. Nama Shanghai lagi top saat itu.
"Akan ada World Expo di Shanghai," kenang Anastasia.
Singkatnya Anastasia diterima di sekolah musik terbaik di sana: Shanghai Conservatory of Music. Satu-satunya pelajar dari Indonesia. Ada satu lagi siswa asing: dari Prancis.
Karakter periang dia bawa ke Shanghai. Dia bukan gadis pemalu. Anastasia sangat pede. Pun di kelas.
Setiap guru mengajukan pertanyaan Anastasia unjuk jari. Kalau guru memeragakan sesuatu lewat tangan, Anastasia menirukan. Dia jadi bintang kelas.
Baca Juga: Ikut Cahaya
"Siswa di sini mirip di Indonesia. Kalau dipancing apakah ada pertanyaan, tidak ada yang bertanya," ujar Anastasia. "Saya selalu bertanya setiap ada kesempatan bertanya," tambahnyi.
Anastasia pun sering diminta jadi asisten guru.
Dari situlah Anastasia mendapat tawaran beasiswa dari Shanghai: untuk kuliah menjadi guru musik. Sampai S-1.
Anda sudah tahu: menjadi guru musik tidak hanya harus pandai musik. Juga harus pandai mengajar.
Sayang, saya bukan Liang: tidak bisa banyak mengajukan pertanyaan tentang musik.
Rasanya saya begitu ingin panggil Liang agar bergegas ikut makan dengan Anastasia malam itu. Lalu sebentar-sebentar saya sepak kakinya. Agar ia terus bertanya kepada Anastasia.
Intinya: jadilah Anastasia guru yang periang. Guru kesukaan para murid. Guru yang bisa membangkitkan gairah anak-anak yang lagi malas-malasan.
Dia ajak anak-anak itu bermain. Dia ajak duduk bersama. Kalau perlu sampai rebahan. Lalu dia perbanyak body-music –entah benar atau salah istilah ini. Yang benar: body percussion.
Maksud saya: Anastasia aktif menggerakkan kedua tangannyi, memukul-mukulkannyi ke bagian lain tubuhnyi, melantunkan bunyi dari mulutnyi –bunyi yang bernada– beda bagian tubuh yang disentuh beda bunyi dan nadanya.
Saya pun minta Anastasia berdiri. Saya minta dia memeragakan caranyi mengajar dengan body percussion itu.
Dia pun berjunggit dari kursi. Bikin gerakan dinamis dengan kedua tangan. Menyentuh banyak bagian tubuh. Mulutnyi mengeluarkan not dan nada lagu: Yam Korambe dari Papua. Saya terpana. Saya lupa memvideokannya.
Dia memang pernah mengomposeri Yam Korambe di Shanghai. Dia gabung dengan musik klasik. Dia tampilkan saat dipercaya naik panggung pertunjukan.
Anastasia tidak hanya punya banyak murid. Dia juga digandeng produsen piano terbaik dari Jerman. Dia sering diminta memainkan piano dagangan itu di depan konsumen atau calon konsumen.
Dia menyebut mereknya tapi saya lupa. Pokoknya piano yang termahal harganya. Itu sekaligus promosi bagi dirinyi sendiri. Agar sekalian mengajar anak orang kaya yang mampu membeli piano jenis itu.
Ingat: piano Steinway & Sons. Anda pun sudah tahu. Itulah piano impian para pianis.
Bisa melihat pianonya saja hati sudah berbunga-bunga. Apalagi bisa menyentuhkan jari ke toast-toast-nya. Anastasia justru bisa bekerja sama dengannya.
''Hemmmm...," gumam Anastasia membayangkan lagi memainkannya. Matanyi sampai terpejam. Pipinyi memerah. Tubuhnyi menggelinjang. Itulah piano yang sejarahnya panjang.
Anda pun sudah tahu: mulai dibuat tahun 1820. Di satu kota kecil di Jerman. Lalu mereka berimigrasi ke New York. Memproduksi piano untuk Amerika: 1853. Produksi ke-200.000-nya dihadiahkan ke Gedung Putih. Lalu diganti dengan produksi ke-300.000. Tahun 2000 lalu sudah memproduksi yang ke-550.000.
Kini Anastasia menekuni tari. Sudah dua tahun dia terjun ke street dance. Saya pun minta Anastasia memeragakan jenis tari itu: sungguh mati saya belum pernah melihatnya.
"Saya ingin bikin kejuaraan dunia street dance di Bali," ujar Anastasia. "Kalau bisa, tahun ini," tambahnyi. Dia kenal banyak jaringan penggemar street dance di berbagai negara.
Malam itu saya memang gagal bertemu Princess di Disneyland Shanghai. Tidak menyesal: saya bertemu Princess Anastasia di Madina. (Dahlan Iskan)