Oleh: Dahlan Iskan
Berdiri. Di alam terbuka. Malam hari. Di suhu yang minus satu derajat.
Saya lihat di sana-sini terserak salju tipis. Baju sudah rangkap empat. Masih juga kedinginan. Mungkin karena saya tidak mengerti apa yang saya tonton.
Saya hanya menemani cucu-cucu yang ingin ke Universal Studios –di luar kota Beijing, tadi malam.
Lokasinya di depan istana Harry Potter.
Salah satu cucu berusaha menjelaskan jalan cerita adegan magic Harry Potter. Dia sendiri pakai baju, dasi. dan kacamata ala Harry Potter.
Pikiran saya terbagi dua: sebagian ke ceritanyi. Sebagian ke medsos yang mempersoalkan gagasan Gibran Rakabuming Raka yang mengalokasikan dana Rp 400 triliun untuk makan siang gratis di seluruh Indonesia.
Ada satu ejekan di medsos yang terus hidup di benak saya. "Rp 400 triliun kok hanya untuk mengisi toilet," tulis seorang komentar di medsos.
Banyak sekali reaksi sejenis. Dengan nada yang mirip-mirip. Mungkin ada yang mengatakannya berdasar suara hati nurani. Ada juga yang karena beda pandangan politik.
Saya mencoba memahami bagaimana pelaksanaan makan gratis Rp 400 triliun itu. Siapa yang diberi makan. Siapa yang membuat makanan. Siapa yang menyalurkan. Bagaimana agar dana itu tidak bocor ke kantong korupsi.
Saya belum membaca rincian program yang menghebohkan itu. Debat Cawapres juga tidak membahasnya. Saya pun khawatir jangan-jangan Gibran terpilih sebagai wapres lalu dana Rp 400 triliun itu dianggarkan.
Lalu bagaimana menjaga Rp 400 T itu agar tidak masuk WC para koruptor?
Ingatan saya ke Banyuwangi –saat Menteri Abdullah Azwar Anas masih menjabat bupati di sana.
Baca Juga: Tidak Libur
Anas juga mengalokasikan dana APBD puluhan miliar rupiah untuk memberi makan gratis penduduk. Yakni penduduk miskin, janda, orang tua, dan yang tidak berdaya lainnya.