Oleh: Dahlan Iskan
SAYA menderita gatal jenis tertentu, kalau diibaratkan sama dengan gatal punggung: gatalnya menyiksa menggaruknya tidak bisa.
Ini gatalnya seorang wartawan: ingin sekali menulis sesuatu tapi tidak bisa menuliskannya. Soal debat calon presiden. Juga debat cawapresnya.
Bukan main gatalnya jari-jari ini: begitu banyak sisi menarik yang bisa ditulis.
Akhirnya saya putuskan tidak menulis. Padahal sudah menyisihkan waktu melihat siaran langsung debat itu. Juga sudah mencatat bagian-bagian yang perlu ditulis.
Masyarakat sudah begitu terbelah. Tulisan yang tidak sesuai dengan aspirasi mereka dianggap membela lawan mereka.
Seandainya pun saya menulis tentang kehebatan Anies Baswedan dalam debat pertama pasti saya dianggap tidak objektif. Pro pasangan nomor satu itu.
Pun kalau saya menulis bahwa rakyat kecil justru senang dengan gaya Prabowo. Bisa jadi dianggap membela pasangan nomor dua.
Begitu pula kalau saya menilai penampilan Ganjar mirip bintang film Korea: akan dianggap pro Ganjar-Mahfud MD.
Ketika survei Kompas memaparkan capres A yang unggul, kelompok pendukung A memuji Kompas setinggi langit.
"Hanya Kompas yang masih bisa dipercaya," komentar mereka di medsos. Termasuk di grup WA yang saya ikuti.
Tentu hasil survei berubah-ubah. Sesuai dengan perkembangan di lapangan.
Belakangan Kompas mengumumkan hasil survei terbaru. Calon A tidak lagi unggul. Bahkan terancam gagal masuk putaran dua. Maka caci-maki dialamatkan ke Kompas. Berbagai tuduhan pun disasarkan ke Kompas.
Termasuk tuduhan ke pemimpin redaksi Kompas. Padahal dalam hal survei seperti itu pasti Pemred Harian Kompas tidak ikut campur. Sampai-sampai ditelusurilah latar belakang keluarga Ninuk. Juga asal-usulnyi. Bahwa dia adalah anak Moerdiono, mensesneg di masa kediktatoran Orde Baru. Bahwa suaminyi adalah salah satu pengurus pusat Partai Gerindra.
Saya tentu tahu dalamnya Harian Kompas. Juga tahu prinsip jurnalismenya yang independen. Caci maki ke Ninuk itu menandakan betapa akal sehat sudah dikalahkan di masa menjelang Pilpres.
Padahal Ninuk sendiri sudah bukan Pemred Harian Kompas. Sudah sejak tiga tahun lalu Pemred Harian Kompas dijabat Sutta Dharmasaputra.
Tentu ada alasan lain saya tidak menulis jalannya debat Capres: sudah begitu banyak yang menulis. Sesuai dengan versi masing-masing.
Mungkin Jumat malam nanti saya diserang gatal lagi. Ketika para cawapres debat di TV. Apalagi ada wajah muda di situ. Bagaimana Gibran menghadapi pakar hukum sekelas Prof Dr Moh Mahfud Md.
Tapi sudah saya putuskan tidak menggaruknya. (Dahlan Iskan)